Untuk almarhum Novia dan para korban
Butuh waktu lama untuk menggoreskan tinta tentang ia yang dipaksa pergi dengan hati remuk redam.Seorang gadis dengan mimpi terbaik yang dipunya terpaksa kehilangan masa depan. Terperangkap dalam relasi yang tidak sehat, yang berujung pada perkosaan. Kekasih yang selama ini ia percaya, menuangkan obat tidur dalam minumannya.
Kepercayaan dirinya runtuh seketika, memar jiwanya karena tersakiti. Batasan yang dipunya tanpa daya diterobos paksa justru oleh orang terdekat.Gadis itu tidak diam. Ia mengetuk pintu hati kekasihnya, juga pintu keluarga lelaki yang sudah memperkosanya itu.
Sayang, bukan uluran tangan atau belai kasih yang bersambut. Sebaliknya, ucapan menyayat hati dari seorang ibu dari kekasihnya. Menghujam sembilu, meluluh lantakkan harga diri. Ia kembali remuk redam, entah berapa sayatan menggores hati.
Rasanya, masa depan semakin gelap. Tak tampak terang menjadi penunjuk jalan. Hari itu, kembali Novia terjatuh. Kali ini, teramat dalam dan ia terbangun dengan rasa sakit tak terperi dari pembaringan Rumah Sakit, setelah dipaksa menelan berbutir – butir pil hingga janin usia 4 bulan itu luruh, mengental bersama pekatnya darah. Berhari – hari, ia terbaring tak berdaya, tak sepatah katapun terucap baik secara pesan sosial media apalagi tatap muka dari kekasih atau ibu dan keluarga kekasihnya. Mereka tidak mencarinya, pun para paman yang menjadi wali baginya setelah sang ayah tiada. Bukan kebajikan yang ia peroleh dari paman – pamannya selain hujatan, sementara ibunya terkasih tak berdaya untuk membela.
Novia, gadis itu mengetuk semua pintu keadilan, mencari sedikit saja hak atas hilangnya martabat. Namun, tidak ada keadilan diperoleh, bahkan dari penegak hukum sekalipun.
Melewati setiap pagi, menjalani hari, melampaui malam adalah hal teramat berat. Sakit setiap saat, luruh daya hidup. Setiap hari adalah perjuangan. Untuk apa hidup? Apa makna kehidupan? Apakah hari ini akan menjadi lebih baik? Apakah esok rasa sakit akan hilang? Atau ia akan jadi abadi.
Kehidupan menjadi sesuatu yang menakutkan, menawarkan sesuatu yang teramat tidak pasti. Menimbulkan kepanikan yang memunculkan getar pada tubuhnya, jantung yang terus berdebar. Betapa menakutkannya hidup itu, hingga ia tidak sanggup tinggal lagi di dalamnya.
Sang ibu, yang meratap memohon agar ia tetap hidup sampai akhir, tak mampu lagi menjadi obat atas kesakitan dan ketakutannya. Ia terjatuh hingga ke dasar.
*
Novia, engkau gadis yang kuat, penuh ketangguhan di tengah bara yang membakar jiwamu hingga menjadi abu. Andai saja, dunia ini bergerak dalam jalan penuh keadilan, membuka kesempatan yang sama bagi semua orang untuk menggenggam mimpi, meraihnya dengan terbang sedemikian tinggi, dengan kepakan sayap yang menakjubkan. Tentu, kamu, aku, kita, mereka yang dipaksa tersingkir, tak perlu banyak berkorban nyawa dan hidup.
Novia, kamu adalah lilin, yang terangnya masih ada di hati, di jiwa dan imaji. Kamu masih ada dalam setiap teriakan mereka yang dirampas masa depannya, dijadikan titik serang di setiap pertempuran.
Dan, kamu tahu, baru saja tersiar kabar merebak di penjuru negeri kita, seorang pengelola pondok pesantren telah memperkosa belasan santrinya, hingga sebagian diantaranya hamil.
Novia, negara ini berutang nyawa padamu dan pada para korban. Tapi, negara ini terlanjur bebal, buta kemanusiaan sekaligus buta penghargaan pada perempuan. Perlindungan yang diminta tak kunjung diberi, relasi kuasa, ketimpangan struktural dan gender tak pernah diakui sebagai musabab. Negara lebih sering mengacungkan telunjuk jarinya kepada korban, alih – alih memberi pelajaran kepada pelaku.
Negara telah turut menjadi pelaku. Merampas banyak hidup dan masa depan anak bangsa.
Novia, sayang. Beristirahatlah dengan tenang. Suatu saat bila kita bersua, akan kuceritakan sebuah kabar tentang hal baik. Tentang dunia yang sudah berubah wajah, menjadi ruang yang merdeka bagi semua perempuan, semua umat manusia. (DST)