Credit pic https://pin.it/5879H6oK8
Oleh: Iman Amirullah*
Perdebatan mengenai otonomi tubuh, my body my choice, yang bermuara pada perdebatan konyol mengenai apakah perempuan memiliki hak atas kebebasan berpakaian dan berekspresi akhir-akhir ini kembali muncul ke tengah masyarakat terutama di linimasa media sosial. Terungkapnya banyak kasus kekerasan seksual yang melibatkan para tokoh-tokoh besar dari anak seorang kyai, petinggi lembaga pendidikan, hingga pengajar pondok pesantren menjadi salah satu penyebabnya. Kematian perempuan Kurdi Iran, Mahsa (Jina) Amini ditangan polisi “moral” Iran akibat penggunaan hijab yang “tidak tepat” juga menjadi katalisator bagi rentetan demonstrasi dan pemogokan warga Iran untuk memperjuangkan otonomi tubuh. (Al-Katahtbeh, 2022). Di Indonesia sendiri, bahasan mengenai otonomi tubuh selama ini kerap ditabukan dan dianggap sebagai agenda “liberal” dan “SJW” barat untuk menyebarkan pemahaman mengenai seks bebas.
Padahal, secara definisi, otonomi tubuh dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk membuat pilihan atas tubuhnya sendiri tanpa harus menghadapi paksaan atau kekerasan dari pihak lain. (Nienaw, 2019). Dalam hal ini, setiap orang memiliki kebebasan serta kemerdekaan dalam menentukan apa yang ingin atau tidak ingin ia lakukan, kenakan, dan seterusnya. Otonomi tubuh juga berkaitan erat dengan kekuasaan, namun kekuasaan yang dimaksud di sini ialah kekuasaan seseorang atas dirinya sendiri, bukan atas tubuh-tubuh individu lain. (Benedicta, 2011). Dengan kata lain, otonomi tubuh dapat dikatakan sebagai sebuah hak yang tidak bisa dilepaskan dari seseorang. Penyangkalan terhadap otonomi tubuh merupakan sebuah bentuk penindasan karena pada dasarnya, merebut otonomi tubuh sama dengan merebut kemerdekaan seseorang.
Penentangan terhadap otonomi tubuh khususnya perempuan telah dimulai sejak ribuan tahun silam, dimana perubahan kehidupan manusia dari masyarakat pemburu-peramu menjadi masyarakat agrikultur mengubah pola relasi laki-laki dan perempuan serta pembagian tugas sosial di dalam masyarakat. Dengan perubahan pola kehidupan ini, perempuan menjadi tereksklusi dari kerja-kerja sosial dan dibebankan dengan kerja domestik. Pola hubungan ini pun akhirnya menjadi sebuah budaya yang terus dipertahankan oleh banyak masyarakat dunia yang mengakibatkan perempuan menjadi asing terhadap hak dan tubuhnya sendiri.(Zerzan, 2010) Banyak perempuan pada akhirnya tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk menolak sesuatu yang dipaksakan kepadanya baik oleh orang tua, suami, maupun masyarakat. (Febrian, 2021).
Dalam catatan United Nation Population Fund (UNFPA), lebih dari 50% perempuan di 57 negara tidak memiliki atau ditolak otonomi tubuhnya baik oleh negara maupun masyarakat. Penolakan ini misalnya berupa ketiadaan hak untuk memiliki pilihan bebas terkait hubungan seksual dengan pasangan, kontrasepsi, dan perawatan kesehatan yang terjadi pada 87% perempuan di 57 negara yang disurvey oleh UNFPA. Hal ini berimplikasi pula pada banyak aspek kehidupan wanita seperti berbagai kekerasan berbasis gender yang banyak terjadi di seluruh belahan dunia. (Letzing, 2022). Lalu bagaimana perampasan otonomi tubuh perempuan dan kekerasan berbasis gender ini dapat berkaitan?
Otonomi tubuh adalah kemampuan seseorang untuk menentukan apakah ia ingin menerima atau menolak untuk melakukan sesuatu yang ditetapkan oleh pihak eksternal.(ARC Southeast, 2024) Sebut saja misalnya pemaksaan kehamilan, sebuah kondisi dimana seorang perempuan dipaksa baik dengan ancaman kekerasan maupun kekerasan secara langsung untuk hamil atau melanjutkan kehamilan. Bentuk-bentuk pemaksaan kehamilan pun beragam, dari pelarangan akses kontrasepsi hingga pelarangan aborsi terhadap kondisi Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Idealnya, seorang perempuan memiliki otonomi tubuh dan berhak menentukan sendiri apakah ia ingin melanjutkan kehamilan atau tidak, karena ia sendiri yang mengalami dan mengetahui kemampuannya.
Pemaksaan kehamilan sebagai salah satu contoh pelanggaran terhadap otonomi tubuh perempuan bukan hanya berdampak negatif bagi psikis perempuan saja, melainkan memiliki berbagai implikasi medis utamanya terkait kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Pelarangan atas akses terhadap kontrasepsi akan mempersulit perempuan untuk mengatur jarak kehamilan yang selanjutnya bisa saja meningkatkan risiko komplikasi dan infeksi organ seksual dan reproduksi hingga akhirnya dapat mengarah pada kematian. Ketiadaan pemenuhan terhadap atas akses aborsi yang aman dan legal juga mengakibatkan banyak perempuan harus mempertaruhkan nyawanya dengan mengambil resiko untuk melakukan prosedur aborsi ilegal. Prosedur yang bukan hanya tidak aman karena dilakukan dengan berbagai metode yang berbahaya bahkan berisiko kematian, tapi juga harus berhadapan dengan risiko kriminalisasi dari aparat penegak hukum dan stigma dari masyarakat.
Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dan keadilan reproduksi (reproductive justice) menjadi penting karena terkait dengan otonomi tubuh seseorang. Otonomi ini mencakup kebebasan penuh untuk mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi mereka tanpa diskriminasi, paksaan, atau kekerasan dari pihak eksternal. (Daigle, M. and Spencer, A., 2022)Penolakan terhadap otonomi tubuh mengakibatkan perempuan kehilangan kemerdekaan tubuhnya sendiri, memposisikan ia dalam posisi timpang dalam berelasi dan meningkatkan risiko atas kehidupannya. Berbagai Kekerasan Berbasis Gender (KBG) berkaitan dengan hilangnya otonomi tubuh perempuan seperti kekerasan seksual, pemerkosaan dalam pernikahan, pemaksaan kehamilan, KDRT, dan lain-lain. Hilangnya otonomi tubuh akan menempatkan perempuan dalam posisi rentan terhadap kekerasan yang mungkin dapat menghilangkan nyawa. Otonomi tubuh bukan hanya sekedar mengenai kebebasan bagi seseorang dalam memilih dan bertindak, melainkan merupakan sesuatu yang bersifat fundamental dan berkaitan dengan kelangsungan hidup seseorang.
Tentang Penulis:
Iman Amirullah
Iman atau biasa dipanggil Kim merupakan seorang queer pecinta kopi dan kucing, terutama kucing hitam.
Daftar Pustaka
ARC-Southeast. “What Does ‘Bodily Autonomy’ Mean?” (2024) Diakses dari https://arc-southeast.org/2024/01/12/what-does-bodily-autonomy-mean/
Al-Katahtbeh, Amani. “Mahsa Amini Was Arrested For ‘Bad Hijab.’ But the Only ‘Bad Hijab’ Is a Forced One.” (2022). Diakses dari https://www.elle.com/culture/career-politics/a41429102/mahsa-amini-iran-death-hijab-protests/
Benedicta, Gabriella Devi. “Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh.” Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2011)
Daigle, M. and Spencer, A. (2022) Reproductive justice, sexual rights and bodily autonomy in humanitarian action: what a justice lens brings to crisis response. HPG working paper. London: ODI (www.odi.org/en/publications/reproductive-justice-sexual-rights-and-bodilyautonomy-in-humanitarian-action-what-a-justice-lens-brings-to-crisis-response)
Febrian, Ramdan. “Pentingnya Memahami Otonomi Tubuh dan Batasannya dalam Berinteraksi.” (2020) Diakses dari https://voi.id/bernas/3595/pentingnya-memahami-otonomi-tubuh-dan-batasannya-dalam-berinteraksi
Letzing, John. “What is women’s ‘bodily autonomy’ and why does it matter for everyone?” (2022). Diakses dari https://www.weforum.org/agenda/2022/03/what-is-bodily-autonomy-and-why-does-it-matter-for-women/
Nienaw, Shalon. “Seven Steps to Teaching Children Body Autonomy.” (2019). Diakses dari https://www.rchsd.org/2019/12/seven-steps-to-teaching-children-body-autonomy
Zerzan, John. “Patriarchy, Civilization, And The Origins Of Gender.” (2010).