Search
Close this search box.

“Dimanakah Saya Malam itu?”; Sebuah Pengalaman Juang

Lami sedang membacakan puisi di deklarasi ibu dan perempuan mendukung mogok nasional/dok perempuan mahardhika

Oleh Lami

Sehari jelang mogok nasional, di tengah kesibukan persiapan mogok nasional, masih sempatkan saya menulis untuk menjawab pertanyaan Thien Kusna yang dimuat di dev.marsinah.id tertanggal 6 November 2015 (http://www.dev.marsinah.id/kisah-bambu-barisan-maju-buruh-perempuan-dari-garis-depan/)

Dimanakah saya malam itu? Sebelum menjawab tulisan dari thien koesna, saya ingin berbagi pengalaman,bagaimana semangat BAMBU bergabung masuk dalam barisan GODAM.

Sebelum masa aksi reli menuju istana, saya dan empat kawan BAMBU bejalan ke depan melewati mokom,lalu Thin Koesna dipanggil kawan Wisnu, Komandan utama dari GODAM,untuk bergabung dalam barisan kawan GODAM, lalu empat kawan BAMBU langsung mengisi barisan yang kosong termasuk saya, dan saya melihat barisan GODAM sekitar sepuluh berbanjar ke depan dan ke samping membentuk rantai tangan dengan barisan sigap, kukuh, kuat, berseragam rompi parasit berwarna merah bertuliskan GODAM di punggung.

Kawan Wisnu intruksikan untuk merapikan barisan sebelum kami  melangkah  berjalan,  tangan kiri ke atas kami kepalkan mengikuti yel yel dengan semangat kami lantangkan suara ’’bangkit lawan hancurkan tirani’’, jika KP-KPBI diteriakkan di atas mobil komando.

Lalu kami menata kembali barisan dan kembali bergandengan tangan, berjalan bersama mobil komando di belakang kami, diiringi massa aksi dengan membawa berbagai bendera, poster, dan spanduk, langkah penuh semangat dengan teriakan HIDUP BURUH yang tidak pernah ada matinya yang terus kami teriakkan setiap menyusuri jalan aksi menuju istana. Terik panas matahari tak lagi kami pedulikan, sesekali kami duduki panasnya aspal hampir memepes bokong kami tapi semua rasa panas itu hilang seiring dengan semangat yang tak usai padam. Kembali kami berdiri, sesampainya di depan gedung RRI.

Kami, BAMBU,  GODAM dan barisan massa aksi lainya menghadap gedung RRI dengan tangan kiri terkepal didada, dari lorong barisan massa, ada kawan berlari membawa bendera merah putih besar berkibar. Ia berhenti di tengah barisan, mengibarkan benderanya. Dengan khidmat kami nyanyikan lagu Indonesia Raya, seraya berharap semoga persatuan kaum buruh yang sudah terbentuk, yang dimulai dari lingkaran kecil menjadi lingkaran besar, tak lagi mudah pudar, tenggelam dan lenyap. Berkembanglah membesar dan berjaya, agar harga diri buruh tak lagi terinjak,hak-hak buruh tak lagi terkoyak dan sejahterahlah rakyat Indonesia.

Seiring harapan, kami kembali bergandeng tangan berjalan menuju istana, berderet di hadapan kami, jajaran polisi muda berbaris. Kawat berduri menjadi sekat pembatas, antara istana dan massa aksi, berbagai pimpinan organisasi bergantian orasi. Siang menjelang sore, saya dan kawan BAMBU lainnya yang dipimpin kawan Lanang berada di belakang mobil komando, juga bersama kawan anggota dari PT Eunsan Aparel,dan PT Amos. Ketika jarum jam Jam 4 lebih, kami, kawanan BAMBU dipanggil kawan GODAM yang  membawa toa (saya tidak tahu namanya), mengintruksikan untuk menyisir massa dan anggota yang bercecer di Monas dan di taman mengajak berkumpul di belakang mobil komando untuk pertahanan,  jika kemungkinan nanti dipukul mundur. Lalu kami menyisir anggota, mengajak berkumpul di belakang mokom, karena kami dengar pemberitahuan dari mokom, bahwa hasil perundingan dengan menteri untuk cabut PP pengupahan telah gagal. Pemerintah tetap ngotot untuk mengesahkan PP pengupahan yang dianggap mengurangi pengangguran. Pimpinan aksi  mengintruksikan kami untuk bertahan sampai kami dibubarkan, lalu kami berdiri bersemangat berteriak “Cabut,Cabut, PP Pengupahan Sekarang Juga”.

Sore itu mulai gelap, saya melihat kecemasan-kecemasan dari wajah-wajah anggota yang baru pertama kalinya ikut aksi. Tapi kami tak putus putusnya berikan semangat kepada mereka, yang akhirnya mereka ceria kembali. Walaupun, sepertinya mereka dirasai antara rasa takut dan penasaran, tapi mereka siap bertahan saat kami tanyai.

Gelap itu merasuki malam, mana kala suara azhan menggema di atas mokom, yang dari setiap baitnya membawa rasa haru. Seiring dengan itu semangat tak pernah padam, ketika barisan membentuk rantai tangan kami perkuat, putihnya odol di bawah mata kami seolah hendak menyambut water canon yang sudah siap menyerang sedari tadi. Pihak kepolisian memperingatkan bahwa jam aksi sudah selesai dan kami diberi waktu sampai jam 6 sore untuk membubarkan diri, tapi massa aksi tidak peduli. Mereka tetap semangat bertahan dan bernyanyi.

Ketika intruksi dari mokom mengatakan bahwa massa aksi harus bertahan karena aparat akan menyemprotkan water canon ke arah massa aksi, masa aksi tetap bergandengan erat. Kami berteriak semangat untuk bertahan, diiringi orasi yang menggebu-gebu. Saat itulah, air pertama mengguyur massa aksi, BAMBU dan anggota di belakang kami yang masih sempat bercanda tentang saya yang kebanyakan memakai odol dimata saya, yang mungkin dianggapnya lucu.

Lalu, ketika semprotan kedua dan ketiga dilancarkan, odol meleleh. Saya melihat kawan Lanang hampir  terhuyung jatuh saat seprotan digibaskan kearah semua masa aksi. Saat itulah ada yang mengenai kuping kawan-kawan sampai berdengung. Namun massa aksi masih bertahan saat BAMBU diintruksikan untuk ke depan. Kami menolak diminta berpindah ke belakang mobil komando. Meski kami perempuan, kami siap, sama siapnya dengan BAPOR laki – laki.

Aparat membabi buta menyemprotkan air ke arah mobil komando yang akhirnya pengeras suaranya mati tidak berfungsi. Saat itulah, peringatan terakhir dari kepolisian bahwa aksi akan dibubarkan secara paksa. Mendengar itu kami makin menguatkan rantai tangan, sambil menahan dinginnya tubuh akibat basah oleh water canon. Kawan Lanang mengintruksikan untuk menunduk, di samping  kanan saya ada Kesi, saya mengandengnya erat. Di sebelahnya lagi ada Wahyu. Ia mengandeng kawan Atik yang baru pulang kerja menyusul aksi bersama kawan Parti. Di belakang saya ada kawan Dinov, Dahe,Thien Koesna,Yanti, Wiwik dan anggota dari PT Amos dan PT Eunsan. Di depan, di samping kanan kawan Lanang dan Yoyok, kami dengan tingkat menggigil yang semakin kuat, bergandeng tangan saat intruksi siap menunduk. Gandengan tangan yang erat ini, entah mengapa menghangatkan suhu kami. Dingin, tak lagi terasa. Saat itulah, dentuman bola api meluncur disertai asap di hadapan kami. Saya dan kawan-kawan  BAMBU tetap bergandeng tangan, bertahan menunduk. Rasanya, jantungku berhenti, saat biang api itu jatuh tepat di pundakku dengan letusan asap mengebul. Disusul lagi letusan asap di depanku. Saya kaget dengan mulut terbuka. Seketika, masuklah asap ke mata,hidung, mulut dan perih panas,  pedas pun mulai menusuk tenggorokan. Nafas tersumbat, gandenganku terlepas dari kawan Kesy, karena saya sibuk menutup hidung dan mulut. Saya berjalan tak terarah sambil terbatuk- batuk. Saya masih sempat bergandengan tangan dengan kawan Atik, tapi akhirnya terlepas. Saya lelah, rasanya sulit sekali bernapas. Saat itu saya  butuh sekali air, saya sempat memungut botol aqua yang sudah gepeng terinjak tapi airnya berbusa. Jadi saya ragu meminumnya dan botolnya masih saya pegang. Atik digandeng lanang. Saya melihat kawan kawan berlarian menahan nafas. Begitu juga saya. Mata, hidung, mulut, rasanya seolah ditabur lada dan cabe. Muka saya sudah tak keruan. Saya melihat ada motor vespa terjatuh dan bertemu kawan Yoyok, yang lalu memanggil kawan lain untuk menolong saya yang sudah lemes. Seingat saya, saya kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam mobil kawan SPSI. Saya punya sedikit tenaga setelah minum air, tapi punggung saya panas. Rasanya pedih sekali, sambil di hati memaki.

Untuk menjawab tulisan dari Thien Koesna, dimanakah saya malam itu?

 ‘’saya lenyap dengan asap’’..ooh tidak

Malam itu saya terpisah dengan kawanan BAMBU, karena saya lama sekali didalam mobil dan hp saya titipkan ke kawan Atik. Saya tidak di Rumah Sakit manapun. Saya pulang bersama kawan SPSI dan turun di tol timur Bekasi. Waktu itu, ongkos saya hanya tinggal sepuluh ribu  dan kawan kawan menambahkan ongkos, juga menemani sampai saya naik angkot tiga per empat jurusan pulo gadung. Terimakasih sebelumnya atas pertolongan kawan kawan yang saya tidak tahu namanya. Lalu saya turun di lampu merah dan naik omprengan, duduk depan dekat sopir. Akhirnya, sopirnya mengeluh tengorokannya panas, matanya pedih. Saya pun jelaskan padanya bahwa saya baru saja terlibat aksi demonstrasi buruh di istana. Tak lupa saya sampaikan maaf bila ia terkena imbas dari gas air mata dari tubuh saja. Akhir kata. Kemudian saya minta turun di GG.puskesmas dan naik ojek sampailah sekitar jam 1 dini hari di sekretariat FBLP.

Itu saja sedikit cerita dari saya, semoga terkenang sampai akhir hayat dan jadi obor semangat bagi siapa saja.

Saya Siap Mogok Nasional 24,25, 26, 27 November 215

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya