Malam itu, sekitar pukul 20. 20 Wib, udara Jakarta cukup dingin, 24 derajat celcius.
Ku arahkan motor melewati Justus, ke arah jalan Cakung Cilincing, jalanan yang tak pernah lenggang oleh kontainer-kontainer yang setiap harinya bolak balik pelabuhan Tanjung Priuk untuk ekspor impor.
Di antara debu jalanan ibukota, sesekali kurasakan kengerian mengendara karena beberapa kali di salib oleh raja jalanan itu.
Ku arahkan motor ke kiri begitu sampai pada plang Jakarta Golden City (JGC). Ya, JGC ini adalah area perumahan dan perdagangan baru di beberapa tahun terakhir, ia sering menjadi tempat wisata para buruh di KBN Cakung dan masyarakat sekitar. Ada Mall AEON, ada waduk atau danau beserta hamparan luas alamnya. Sepanjang jalan rapi berderet pagar tanaman berbunga, sehingga tampak asri dan nyaman bagi siapapun yang melintas.
Jika kita dari dari arah jalan Cacing (Cakung Cilincing) menuju ke arah Mall AEON, terdapat pertigaan sebelum mall dan kita bisa mengarah ke kiri. Di hamparan tanah yang luas itu, saat ini sedang berlangsung pembangunan proyek untuk area perdagangan baru, dekat waduk.
Di setiap jengkal pinggiran waduk itu, diisi penuh dengan deretan para pedagang minuman dan makanan ringin. Mereka dikerumuni oleh para pembeli, yang menikmati malam di area bebas terbuka, sembari bercengkerama dengan teman, tetangga atau pasangan. Atau mungkin bahkan bagi mereka yang ingin sendiri di tengah keramaian.
Di salah satu sudut waduk, kutemui seorang perempuan yang sedang menyeduh kopi melayani pembeli. Ia adalah kawanku, Darsi namanya. Seorang Ibu single parent dengan 2 anak. Malam ini adalah pertama kalinya, ia berjualan kopi dan makanan ringan lainnya. Masih kaku melayani pembeli namun ia begitu semangat berjualan, tampak dari senyumnya yang terus mengembang.
Darsi adalah buruh pabrik garment yang bekerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN Cakung). Sudah beberapa kali pindah-pindah pabrik, karena sistem kerja kontrak yang menggurita. Hal itu memaksa Darsi untuk terus beradaptasi dengan tempat kerja dan kawan kerja yang baru, begitu ia harus menjadi buruh baru di tempat yang berbeda. Keahliannya di bidang menjahit, dan usia yang masih tampak muda, masih menguntungkan dirinya, karena buruh dengan keahlian selain menjahit apalagi usianya sudah 40 tahun ke atas rata-rata tidak di prioritaskan jika melamar ke pabrik-pabrik.
Demi memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta, dan untuk menghidupi kedua anaknya di kampung yang sedang sekolah SMK dan SD, Darsi menjalani kerja sampingan sebagai pedagang kopi keliling di area JGC.
Itu akan menjadi rutinitas keseharian sepulang kerja hingga tengah malam. Tentu akan berdampak terhadap kesehatannya, karena istirahatnya pasti berkurang.
Darsi juga salah satu anggota serikat (Federasi Buruh Lintas Pabrik – FBLP), ia aktif menggagas pendirian serikat di pabrik, menginisiasi rapat-rapat dan pendidikan agar para buruh mempunyai kesadaran untuk berjuang bersama.
Dari sinilah, Darsi sering menyampaikan “indahnya berjuang”, baginya berjuang ia jalani di lingkup pabrik, di area rumah tangga dan di semua lini kehidupan.
Darsi, adalah satu dari sekian banyak perempuan yang melakukan kerja sampingan. Banyak juga buruh perempuan lain yang melakoni ini, dengan jenis pekerjaan yang berbeda. Ada yang berjualan pakaian, kosmetik, sembako, obat-obat herbal, pulsa, sampai perabot rumah tangga. Semuanya itu dilakukan demi menjaga agar dapur tetep ngebul.
Bagaimana Membagi Waktu dan Tenaga untuk tetap aktif berorganisasi ?
Darsi menyampaikan, bahwa berorganisasi adalah kebutuhan setiap buruh. Berorganisasi ibarat oksigen yang selalu kita butuhkan setiap saat. Oleh karenanya, Darsi sangat cermat mengatur dirinya, kapan bekerja di pabrik, kapan musti berjualan kopi, kapan beristirahat, kapan bersosialisasi dan kapan musti aktivitas organisasi. Bahkan di pinggiran waduk tempat ia berjualanpun, bisa menjadi area untuk rapat atau diskusi baginya dan kawan-kawannya.
” Hidup ini sungguh keras, saya harus keras juga mengatur diri saya untuk bertahan hidup, mengatur waktu yang 24 jam itu dengan baik, demi anak-anak saya, dan tidak berharap kondisi mereka nanti lebih buruk dari yang saya jalani saat ini, karena itu saya belajar di organisasi . Begitu ungkapan Darsi sembari menarik nafas panjang, mengingat kedua buah hatinya nan jauh di kampung.
Apakah Berjualan Sampingan adalah solusi?
Sebagai salah satu solusi personal dan jangka pendek, iya. Tapi sebagai solusi jangka panjang dan sanggup menyelesaikan problem kemiskinan buruh, tentu tidak. Darsi paham akan hal itu. Pemahaman inilah yang terus menguatkan tekadnya untuk mengajak kawan-kawannya berorganisasi. Karena sesungguhnya, satu masalah yang kita hadapi, mempunyai keterhubungan dengan hal lainnya.
Tentang ia berjualan sampingan misalnya, itu juga dampak dari kebijakan upah murah yang diterapkan oleh pemerintah.
Apalagi sejak PP78/2015 tentang Pengupahan disahkan, yang menetapkan kenaikan upah hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, yang juga menegasikan fungsi Dewan Pengupahan, sehingga nilai upah semakin jauh dari standar kebutuhan hidup layak (KHL). Artinya ada keterkaitan antara berjualan kopi, upah murah, dan kebijakan negara. Darsi paham bahwa kebijakan negara yang tidak menguntungkan buruh harus dilawan. Tentu saja melawannya tidak dengan sendiri-sendiri, tapi dengan bersama-sama. Bersama-sama itu wadahnya ya di organisasi. “Jadi berorganisasi adalah kebutuhan, jika berjuang itu tidak dilakukan mulai saat ini, maka generasi ke depan, akan menjadi budak di negara sendiri” ungkap Darsi berikutnya.
Begitulah sedikit gambaran tentang salah satu sosok buruh perempuan yang gigih, pantang menyerah, tekun belajar dan berjuang. Selamat berproses kawan.
Oleh Jumisih