Kerja yang Mematikan: Feminisasi Kerja, Femisida dan Warisan Perjuangan Marsinah

Masalah yang dialami oleh perempuan adalah masalah struktural dan sistemik. Sehingga problem perempuan, bukan problem individual tapi ada kaitannya dengan sistem ekonomi politik yang pada dasarnya eksploitatif.

Feminisasi Kerja, Pintu Pemiskinan Perempuan

Banyaknya perempuan yang masuk ke dalam pasar kerja adalah bagian dari feminisasi kerja. Di balik pertumbuhan ekonomi, ada tenaga dan wajah perempuan yang jarang disebut. Mereka bekerja lebih lama, lebih teliti, tapi lagi-lagi dengan upah yang lebih murah. Feminisasi kerja menempatkan perempuan pada sektor- sektor yang paling rentan, jauh dari perlindungan dan sangat minim pengakuan.

Banyak perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan besar-besaran untuk perempuan. Bukan karena memberikan lapangan pekerjaan berupah murah semata, tapi mengontrol perempuan untuk bisa diatur dan dieksploitasi dengan berkedok sebagai “penolong”. Masih bisa kita cek saat ini berapa banyak pekerja perempuan yang masih bekerja dengan status kontrak. Bahkan kita bisa melihat pekerja rumahan yang bekerja lebih dari puluhan tahun, tapi mereka tidak tahu kepada siapa mereka bekerja.

Sebagai puncak Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Marsinah.id menyelenggarakan Diskusi Publik bertema “Kerja yang Mematikan: Feminisasi Kerja, Femisida dan Warisan Perjuangan Marsinah” dengan beberapa narasumber diantaranya Eka Ernawati dari KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), Vatov dari FMN (Front Mahasiswa Nasional) dan Yuli Riswati seorang aktivis buruh migran, dari Marsinah.id

Dalam pemaparannya, Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia menjelaskan, saat ini proses feminisasi sudah berkembang jauh berbeda dari tahun 2016-2017. Perbedaan itu terlihat dari segi kualitas, mulai dari hal upah, jam kerja. Perempuan buruh mengalami diskriminasi dari sisi upah, jam kerja, dan hak reproduksinya nyaris tanpa perlindungan. Pengalaman itu dirasakan langsung oleh Eka yang bekerja sebagai buruh perempuan selama belasan tahun di Bekasi. Selain jadi buruh pabrik, Eka juga merasakan pahitnya eksploitasi sebagai PRT dan buruh migran yang kondisinya lebih memprihatinkan. Kondisi ini diperparah dengan beban ganda di rumah yang tak ada habisnya dan tidak berbayar, sementara UMP (Upah Minimum Provinsi) hanya berlaku bagi buruh formal dan lajang. Alhasil, buruh perempuan dan keluarganya yang mayoritas ada di sektor informal, semakin dimiskinkan. Inilah yang disebut kemiskinan struktural.

“Dulu kita masih mengenal sistem pengangkatan buruh kontrak jadi buruh tetap. Sehingga, ada harapan buruh punya pekerjaan tetap. Namun, sekarang banyak buruh diminta mengundurkan diri sebelum masa kontrak mencapai batas tahun yang seharusnya jadi buruh tetap.” Tambah Eka.

Fenomena ini terjadi secara terstruktur. Sementara perempuan kehilangan hak reproduksi mulai dari cuti haid, cuti kehamilan dan PHK atau pemutusan kontrak saat hamil. Perempuan yang bekerja di sektor informal karena sudah tidak bisa bersaing di industri formal juga tak kalah mengkhawatirkan. Mereka terlempar di sektor GIG, pekerja migran, PRT dan pekerjaan diinformalkan lainnya.

Perempuan di Sektor Informal dan Migran, Tertindas, Tanpa Perlindungan

Dalam kesempatan tanya jawab, salah satu peserta diskusi menyampaikan bahwa pekerja ojol perempuan harus membawa anaknya untuk ikut bekerja. Mungkin itu satu dari banyaknya cerita buruh perempuan informal. Di dalamnya, ada sumbangsih negara di dalam penempatan perempuan di dunia kerja. Feminisasi kerja yang tak bermartabat.

Vatov kawan muda dari Front Mahasiswa Nasional menambahkan, masalah yang dialami oleh perempuan adalah masalah struktural dan sistemik. Sehingga problem perempuan, bukan problem individual tapi ada kaitannya dengan sistem ekonomi politik yang pada dasarnya eksploitatif. Perempuan tertindas sebagai perempuan dan rakyat. Feminisasi terlihat setara seolah membuka semua sektor lapangan kerja untuk perempuan. Namun, kenyataannya, perempuan terserap di lapangan kerja paling rentan. Pun, perempuan yang berhasil masuk dalam sektor lapangan kerja yang lebih mapan, tetap sulit berkarir.

Sementara, negara terus memberi karpet merah kepada pemodal internasional dengan menjual hutan dan alam. Masyarakat adat digusur, perempuan kehilangan bumi yang dikelola menjadi pangan. Rakyat kehilangan kedaulatan pangan, perempuan kehilangan akses bertahan hidup. Itu artinya negara tengah merebut ruang hidup satu keluarga. Akibatnya, banyak perempuan yang kemudian bermigrasi menjadi pekerja informal ke negeri asing demi bertahan hidup.

Yuli Riswati, dari marsinah.id menambahkan “Menjadi perempuan itu saja sudah bahaya, menjadi perempuan pekerja pun dalam situasi bahaya, apalagi perempuan pekerja migran yang nyaris tanpa perlindungan karena tidak ada di UU Ketenagakerjaan.”

Negara yang diharap hadir di setiap persoalan buruh migran, justru selalu absen. Padahal aliran dana dari buruh migran di negara yang tidak lock down membuat Indonesia sanggup bertahan di masa pandemi.

Femisida dan Warisan Juang Marsinah

Namun, tidak ada timbal balik dari negara, sesederhana menyediakan masker bagi pekerja migran. Justru, solidaritas antar warga dan pekerja migran, yang menggantikan peran negara. Dimana negara? Negara sudah lama punah menjalankan kewajibannya. Bahkan, negara justru jadi pelaku kekerasan karena enggan mengusut kasus femisida masa lalu, seperti kasus Marsinah.

“Kita penting meneladani keberanian Marsinah. Seorang buruh perempuan biasa seperti kita, yang tewas dibunuh Orde Baru”

Dengan semangat Marsinah, kita belajar melawan penundukan yang dilakukan oleh negara maupun korporasi. Melawan femisida yang dilanggengkan negara demi mempertahankan otoritasnya.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Denda 10 Galon Untuk Sri

Tidak Hadir di Pertandingan Voly, Sri Didenda 10 Galon Oleh Perusahaan Sri Winarti tidak menyangka ia akan dikenai denda sebanyak 10 galon, yang artinya adalah

Pekerja Rumahan Adalah Pekerja

Lem yang dipergunakan untuk mengelem alas kaki tidak diberikan secara gratis, tapi setiap perantara wajib membeli lem yang sudah disediakan oleh pabrik. 1 kaleng lem dihargai Rp.450.000 dan ini dibayarkan setelah semua pekerjaan selesai. Biaya ini belum mencakup transportasi untuk mengambil barang, gunting untuk memotong, kuas untuk menyapu lem ke alas kaki. Semua ongkos itu semuanya ditanggung oleh si pekerja rumahan.

MIa Bustam, Perempuan Tangguh Bermental Baja

  Bagi generasi muda saat ini, sedikit yang mengingat tentang sosok-sosok perempuan tangguh yang berkarya dan berjuang untuk banyak orang. Sedikit mengingat karena penguasa lebih

Cerita Juang Pembebasan Perempuan

Sebagai manusia, semenjak kita terlahir di muka bumi adalah hal umum orang terdekat dan keluarga dari orang tua kita akan menanyakan apa jenis kelamin si

Jam Molor Peradilan Sesat

dari kiri ke kanan, Ibnu Basuki Widodo, Suradi dan Djaniko. Ketiganya adalah majelis hakim peradilan sesa/dev.marsinah.id Oleh Ambar Angka jarum jam di ruang sidang menunjuk