Balada PHK Tanpa THR di Bulan yang Fitri

Mau dibawa kemana buruh Indonesia yang menjelang lebaran selalu dihabisi kontrak tanpa THR.

Dimana hati nurani para pengusaha?  Seandainya, pengusaha mendapat perlakuan yang sama dengan buruh, tanpa THR dan berstatus kerja kontrak. Apakah pengusaha sanggup hidup tanpa mendapat THR dan kena sistem kontrak.

Contohnya saya sendiri, 25 mei 2017 tahun lalu, kontrak saya dihabisi, tanpa THR. Waktu itu, saya berpikir saya akan menjadi PKWTT (buruh tetap), karena sudah bekerja selama 3 tahun, dengan tanda tangan kontrak yang tak terbilang jumlahnya. Nyatanya, fakta berjalan tak sesuai dengan logika saya. Kontrak dihabisi, THR melayang.

Dari tahun ke tahun, fenomena buruh diputus kontrak jelang THR sudah seperti kebiasaan yang entah kapan berakhirnya. Buktinya, tahun ini terulang kejadian yang sama. Bagaimana dengan  nasib kawan- kawan yang berjuang untuk memperoleh THR. Padahal, mereka sudah bekerja 3 tahun dan ada yang lebih, dengan status kontrak. Rentannya status kerja kontrak, menjadi peluang pelanggaran hak buruh. Demikian halnya dengan buruh transportasi KBN, diantara mereka ada yang bekerja hingga 30 tahun, namun berstatus borongan yang berlindung di balik istilah ‘mitra’, ataupun buruh Arnotts yang di PHK sepihak, nasibnya tak semanis biskuitnya.  Angin segar muncul bagi kawan- kawan FBLP yang bekerja di PT. Hansae 3, mereka bertiga, Sri Hayati, Iniyatun  dan Muyasaroh diperkerjakan kembali sebagai buruh tetap per 19 Juni 2018. Semua itu berkat perjuangan buruh dan Serikat Pekerja.

Saya salut dengan teman – teman yang masih gigih berjuang membela hak, apalagi ketika memasuki musim lebaran seperti sekarang ini. Dimana setiap keluarga, berkehendak untuk pulang kampung, berkumpul bersama keluarga besar, yang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di tengah hari yang fitri, bulan yang fitri, mereka malah harus menelan pil pahit PHK tanpa ditengok sedikitpun tenaga, pikiran, keringat yang sudah tercurah untuk roda produksi. Ada yang dibubarkan tendanya ketika menunggui pabrik, ada yang terpaksa berhenti pemasukannya untuk nafkah keluarga. Tak jarang, di tengah perbuatan keji bernama PHK itu, para atasan di perusahaan masih nyaring mengumandangkan doa pada sang Khalik. Sungguh antara laku dan ucap sering kali bertolak belakang.

Apa Kabar Pemerintah?

Kebiasaan lain yang muncul jelang lebaran adalah adanya Posko THR Kementerian Tenaga Kerja. Posko ini selalu hadir jelang lebaran, meski saya tak tahu apa faedahnya. Kecuali angka – angka pengaduan yang masuk dan didata, entah untuk apa Posko ini hadir. Bukankah kalau Posko THR ini efektif, maka akan disusul dengan beragam penyelesaian dan solusi. Nyatanya, kebiasaan PHK jelang THR tidak berkurang. Jumlah korban pelanggaran THR dan putus kontrak jelang lebaran sejauh ini tak berkurang, apalagi berhenti.

Sedikit cerita dari teman saya di serikat, pernah mengadukan kasus pelanggaran THR ke posko itu beberapa tahun lalu. Ketika bertanya bagaimana tindak lanjutnya, dijawab dengan “Nanti akan dikembalian ke Sudinakertrans tempat pelanggaran THR itu terjadi biar ditindaklanjuti”. Dari situlah, teman saya ini tidak pernah mengadukan THR ke posko itu. Saya sih ingin saja berpikir positif, bahwa ada yang berubah setelah beberapa tahun lewat, namun sepertinya sama saja. Pengusaha yang melanggar hak buruh masih aman sentosa. Justru, Menaker malah mengeluarkan Permen No. 6/ 2016 yang menyatakan buruh kontrak yang habis masa kontraknya di bulan lebaran, tidak mendapatkan THR. Wah, jadi buruh kontrak itu memang kutukan. Pantas para penindas buruh senang dengan adanya sistem kontrak. Tapi penguasa lupa, jumlah buruh kontrak makin banyak dan punya akal untuk berpikir. Karena punya akal untuk berpikir itulah, kami kaum buruh kontrak tidak bodoh. Siapa bilang buruh kontrak tidak berani berserikat dan melawan? Nyatanya, saya berani berserikat. Nyatanya, teman – teman saya yang buruh kontrak berani berserikat. Hati – hati lho, jangan anggap main – main kekuatan buruh kontrak, anda – anda di atas yang congkak itu pasti akan tersungkur.

Mumpung sudah mendekati Hari Raya Idul Fitri 1439, saya mau mengucapkan Mohon Maaf Lahir Bathin, buat teman teman buruh, terutama yang masih berjuang. Saya salut dengan kamu semua, saya yakin berjuang di bulan yang fitri adalah juga ibadah.

Buat para penguasa dan yang bermodal besar dan angkuh, di bulan yang fitri ini ‘maaf saya’, bukan untuk kalian. Pesan saya, ya tadi itu. Hati – Hati.

Salam perjuangan dari saya, Tika Bhawel dari FBLP-KPBI dan Pelangi Mahardhika.

Terima kasih,

Hidup buruh yang berlawan!

BAMBU (Barisan Maju Buruh), Bisa Bertahan – Siap Melawan!

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Berlawan di Hari Bhayangkara

*1 Juli 2013* Bertepatan dengan hari Bhayangkara, saya dilempar dari mobil komando oleh oknum intel berseragam preman. Dalam aksi menolak penangguhan upah dan menolak retribusi

NU di Masa 65 (Bagian 1) [i]

 (Tanggapan Atas Buku Putih, “Benturan NU-PKI 1948-1965”) Pengertian rekonsilasi yang benar adalah mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat

Tentang Ia, Yang Dipaksa Pergi

Untuk almarhum Novia dan para korban Butuh waktu lama untuk menggoreskan tinta tentang ia yang dipaksa pergi dengan hati remuk redam.Seorang gadis dengan mimpi terbaik

Suara Buruh 5 Februari 2015

Suara Buruh Episode 5 februari 2015, menyajikan berita seputar penangguhan upah, cuti haid dan buruh yang sudah lanjut usia namun perusahaan enggan memberi pensiun dan

Posisi Buruh didalam Rantai Nilai Global

Fatimah Fildzah Izzati seorang peneliti perburuhan dalam Talkshow Union di Marsinah FM dengan tema “Buruh Dalam Rantai Nilai Global” yang membahas apa itu sebenarnya rantai nilai global serta posisi buruh dalam rantai nilai global mengungkapkan bahwa rantai nilai global memiliki banyak istilah antara lain rantai nilai pasok, rantai nilai komoditas dan masih banyak yang lain akan tetapi maknanya tetap sama. Rantai nilai global membicarakan tentang barang-barang atau komoditas yang diproduksi oleh kelas buruh diseluruh dunia dalam sebuah rantai nilai yang saling terhubung.

Demokrasi dan Ruang Setara Suara Ibu

Demokrasi tidak lahir dari suara yang besar, akan tetapi dari keberanian untuk mendengarkan suara yang beragam seperti suara ibu, suara perempuan, suara kaum muda, dan suara kelompok marjinal yang sering kali diabaikan dan bahkan tenggelam.