“Bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan”
Kutipan di atas adalah salah satu yang menjadi pertimbangan pembuatan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun, meski sudah berlaku lebih dari dua dekade, banyak buruh belum terlindungi haknya. Banyak buruh masih digaji jauh dari cukup, bekerja bertahun-tahun dengan status tidak menentu, bahkan ada yang hanya menerima ucapan terima kasih ketika pensiun.
Di sisi lain, kasus pelanggaran hak buruh terus menumpuk di Pengadilan Hubungan Industrial, sementara pengusaha tetap bisa dengan mudah melanggar aturan.
Buruh Diinformalkan yang Tak Terlihat
Situasi lebih memprihatinkan terjadi pada buruh yang diinformalkan. Jumlah mereka cukup signifikan, pada February 2025 mencakup 59,40% dari total pekerja (145,77 juta orang). Kehidupan sehari-hari kita pun, kini sangat bergantung pada mereka. Terutama jasa transportasi online, pekerja digital, hingga Pekerja Rumah tangga.
Namun, kelompok ini sama sekali tidak tersentuh perlindungan dalam UU Ketenagakerjaan. Bahkan kepesertaan mereka dalam jaminan sosial (BPJS Ketenagakerjaan) masih sangat rendah; sekitar 9% dari total potensi pekerja informal.
Lantas pertanyaan sederhana pun muncul. Siapa yang melindungi mereka, dan siapa yang menjamin kesejahteraan keluarga mereka?
Suara Kritis di Senayan
Pada 23 September 2025, DPR RI komisi IX mengundang pimpinan Serikat Pekerja untuk memberi masukan terhadap Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dalam forum itu, banyak suara kritis mencuat. Status magang, misalnya, disorot tajam. Seharusnya magang hanya berlaku untuk siswa yang sedang praktek kerja lapangan, tetapi praktiknya sering dipakai untuk buruh yang siap bekerja, meski hanya dibayar uang saku.
Serikat juga menekankan bahwa jaminan sosial dan hak pensiun buruh harus dipermudah, bukan dipersulit dengan birokrasi panjang. Banyak pekerja, terutama generasi muda, sulit mendapat pekerjaan, sementara pengusaha bisa dengan mudah melakukan PHK. Per Mei 2025 saja, jumlah kasus PHK yang dilaporkan ke Kemnaker telah mencapai 26.455 kasus. Di antara provinsi: Jawa Tengah adalah wilayah dengan korban PHK terbanyak dalam periode Januari-Juni 2025, yaitu sekitar 10.995 orang; diikuti oleh Jawa Barat (9.494), Banten (4.267), DKI Jakarta (2.821), Jawa Timur (2.246), dan Kalimantan Barat (1.869).
Sementara, proses perselisihan PHK di PHI justru memakan waktu dan energi buruh. Selain itu, Serikat Pekerja menilai proses bipartit sebaiknya dihilangkan, karena sangat menyita waktu dan tenaga.
Selain hak-hak normatif yang menjadi pokok pembahasan, mereka juga menyoroti pentingnya aturan tentang penanganan pelecehan di tempat kerja. Meski sudah ada UU TPKS, korban tetap butuh jaminan keamanan dan kepastian perlindungan di lingkungan kerja. Bahkan perwakilan pengemudi online menegaskan perlunya kepastian hukum yang jelas dalam Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan baru.
Ironisnya, rapat ini berlangsung tanpa kehadiran penuh anggota Komisi IX. Lebih jauh lagi, DPR ternyata belum menyiapkan draf naskah akademik. Alih-alih membicarakan pasal-pasal konkret, rapat ini justru terasa seperti pengumpulan masukan awal.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah RUU Ketenagakerjaan benar-benar dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, atau hanya menjadi pengulangan kegagalan yang pernah terjadi lewat UU Cipta Kerja?
Pertanyaan yang Menggantung
Jelang penutup, tersisa beberapa pertanyaan dari kalangan Serikat Pekerja. Mengapa harus membuat RUU baru, jika pada kenyataannya UU No. 13/2003 dan PP 78 dinilai masih lebih baik daripada aturan-aturan setelahnya?
Pertanyaan mendasar pun mengemuka: apakah rancangan undang-undang ini sanggup menghadirkan dunia kerja tanpa diskriminasi, dengan kepastian kerja, upah layak, dan jaminan sosial yang adil? Ataukah ia hanya akan menambah daftar panjang kekecewaan buruh di negeri ini?