Negara Boleh Bersenjata, Perempuan Melawan:
Kekerasan Aparat, Kriminalisasi, Konflik Agraria, dan Krisis Pangan Berbasis Gender di 38 Provinsi

Sepanjang tahun, represi aparat memuncak pada April–Mei dan September, terutama saat aksi buruh, mahasiswa, dan warga menolak kebijakan pembangunan, konflik agraria, serta perampasan ruang hidup. Kriminalisasi berfungsi sebagai alat disiplin politik, mempersempit ruang kritik, dan memperbesar kerentanan berbasis kelas dan gender.

LAPORAN TAHUNAN MARSINAH.ID 2025
Periode Laporan: Januari–Desember 2025

RINGKASAN EKSEKUTIF
Sepanjang 2025, Indonesia menghadapi krisis berlapis yang saling menguatkan: kekerasan aparat negara, kriminalisasi warga, kerusakan lingkungan dan bencana ekologis, konflik agraria struktural, serta kebijakan pangan yang memusatkan kontrol pada negara dan industri.

Krisis ini memperparah pemiskinan struktural yang sudah menahun seperti upah murah, informalisasi, PHK massal. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan membentuk satu rezim kekerasan struktural yang bekerja serentak menekan ruang hidup, politik, dan kedaulatan rakyat.Berdasarkan pemantauan Marsinah.id selama Januari–Desember 2025, seluruh 38 provinsi di Indonesia mengalami satu atau lebih bentuk kekerasan struktural berikut:

  1. Kekerasan aparat negara (kepolisian dan militer) terhadap warga sipil
  2. Kerusakan lingkungan dan bencana ekologis yang berulang dan diproduksi kebijakan
  3. Konflik agraria struktural antara warga dengan negara dan korporasi
  4. Penangkapan serta kriminalisasi aktivis, buruh, mahasiswa, petani, dan masyarakat adat
  5. Krisis pangan dan kegagalan kebijakan negara, termasuk meningkatnya kasus keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Sepanjang tahun, represi aparat memuncak pada April–Mei dan September, terutama saat aksi buruh, mahasiswa, dan warga menolak kebijakan pembangunan, konflik agraria, serta perampasan ruang hidup. Kriminalisasi berfungsi sebagai alat disiplin politik, mempersempit ruang kritik, dan memperbesar kerentanan berbasis kelas dan gender.

Konflik agraria yang meluas dan krisis ekologis yang berulang secara langsung meruntuhkan kedaulatan pangan lokal. Dalam konteks ini, kebijakan pangan negara, termasuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG), dijalankan tanpa reforma agraria, tanpa pengakuan atas kerja reproduktif perempuan, dan tanpa akuntabilitas yang memadai. Alih-alih memperkuat ketahanan pangan, kebijakan ini justru memusatkan kontrol atas pangan, dapur, dan tubuh pada negara serta industri, sembari meminggirkan perempuan sebagai pengelola utama pangan keluarga dan komunitas.

Marsinah.id menegaskan bahwa kekerasan aparat, konflik agraria, bencana ekologis, kriminalisasi aktivisme, dan kegagalan kebijakan pangan bukanlah rangkaian peristiwa terpisah, melainkan arsitektur kekuasaan yang berakar pada model pembangunan ekstraktif, sentralisasi kebijakan, dan kontrol negara atas tubuh serta kerja reproduktif perempuan.

Tahun 2025 juga menandai konsolidasi otoritarianisme sosial, di mana kekerasan negara dinormalisasi melalui prosedur hukum dan administrasi yang rapi, sementara perampasan ruang hidup, pemiskinan struktural, dan pembungkaman pengetahuan kritis terus berlangsung. Dampak krisis ini paling berat ditanggung oleh perempuan, khususnya buruh, petani, masyarakat adat, dan ibu pengelola pangan, serta mahasiswa dan warga yang menjadi subjek perlawanan sekaligus korban represi.

Laporan Tahunan Marsinah.id 2025 disusun sebagai dokumen advokasi feminis. Laporan ini tidak bersikap netral. Kami secara tegas berpihak kepada perempuan, buruh, petani, masyarakat adat, korban kekerasan negara, dan seluruh kelompok marginal yang sepanjang 2025 dipaksa menanggung krisis yang tidak mereka ciptakan.

METODOLOGI PENYUSUNAN LAPORAN
Laporan Tahunan Marsinah.id 2025 disusun berdasarkan pemantauan sepanjang Januari–Desember 2025 dengan mengombinasikan sumber data kuantitatif dan kualitatif, serta analisis feminis politik-ekonomi dan ekologi.
Sumber data utama laporan ini meliputi:

  1. Pemantauan media nasional dan lokal
  2. Rilis dan laporan organisasi masyarakat sipil serta jaringan advokasi
  3. Dokumentasi aksi dan kasus dari jaringan buruh, mahasiswa, petani, perempuan, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan
  4. Pendataan kasus keracunan pangan dan pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) berbasis laporan warga dan pemberitaan media
  5. Data kebencanaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Analisis dilakukan secara tematik berdasarkan provinsi dan bulan kejadian, dengan tujuan mengidentifikasi pola nasional, relasi kuasa, serta keterkaitan antara kekerasan aparat, konflik agraria, krisis ekologis, kriminalisasi, dan kebijakan pangan negara.
Laporan ini tidak dimaksudkan sebagai inventarisasi seluruh peristiwa yang terjadi sepanjang 2025. Sebaliknya, laporan ini merupakan upaya pemetaan pola dominan kekuasaan dan kekerasan struktural yang berulang, sistemik, dan saling berkait, serta dampaknya terhadap perempuan dan kelompok marginal.

Dengan pendekatan ini, Marsinah.id menempatkan laporan sebagai dokumen analisis dan advokasi, bukan sekadar kronik kejadian, guna memperlihatkan bagaimana kebijakan pembangunan, kontrol negara, dan kepentingan korporasi bekerja secara simultan dalam memproduksi krisis sosial, ekologis, dan pangan berbasis gender.

TEMUAN UTAMA NASIONAL

1. Kekerasan Aparat, Kriminalisasi Aktivisme, dan Politik Ingatan

Sepanjang 2025, kekerasan yang dilakukan aparat negara berlangsung hampir setiap bulan dan menjangkau seluruh 38 provinsi di Indonesia. Eskalasi kekerasan secara nasional tercatat terutama pada April–Mei dan September 2025, beririsan dengan peringatan Hari Buruh, gelombang protes mahasiswa, serta aksi solidaritas warga terdampak konflik agraria, bencana ekologis, dan krisis pangan.

Pola ini memperlihatkan bahwa kekerasan aparat bukanlah respons insidental, melainkan bagian dari tata kelola konflik sosial oleh negara—sebagaimana dikemukakan Michel Foucault sebagai praktik governmentality, di mana kekuasaan dilepaskan secara terukur untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi.

Bentuk-bentuk kekerasan yang terdokumentasi—pembubaran paksa aksi damai, pemukulan, penggunaan gas air mata dan peluru karet, penahanan sewenang-wenang, intimidasi terbuka maupun terselubung, hingga penangkapan massal—menunjukkan bagaimana negara mengoperasikan kekerasan sebagai teknologi pemerintahan. Aparat keamanan tidak hanya mengendalikan ruang publik, tetapi juga mendisiplinkan tubuh rakyat: siapa yang boleh hadir di ruang politik, bagaimana tubuh boleh bergerak dan bersuara, serta sejauh mana luka dan trauma dianggap dapat ditoleransi demi ketertiban. Dalam konteks ini, negara menjalankan apa yang Foucault sebut sebagai biopolitics: pengelolaan kehidupan dan risiko tubuh rakyat melalui perangkat keamanan.

Perempuan—terutama buruh perempuan, mahasiswa, ibu rumah tangga, aktivis komunitas, dan pemimpin gerakan lokal—mengalami kekerasan berlapis yang mencakup kekerasan fisik, seksual, verbal, psikologis, dan simbolik. Kekerasan ini tidak terpisah dari posisi material perempuan dalam kerja sosial. Sejalan dengan analisis Silvia Federici, tubuh perempuan menjadi sasaran utama disiplin politik karena perempuan berada di pusat kerja reproduktif sosial: merawat kehidupan, menopang ekonomi rumah tangga, dan menjaga keberlanjutan komunitas serta gerakan. Ancaman seksual, stigma moral, dan pelecehan berbasis gender digunakan negara untuk merusak keberanian politik perempuan dan mematahkan solidaritas kolektif yang mereka rawat.

Kriminalisasi aktivisme terjadi hampir di seluruh provinsi, dengan sasaran utama mahasiswa, buruh dan pengurus serikat, aktivis lingkungan dan pangan, petani, masyarakat adat, pendamping hukum, jurnalis, serta pewarta warga. Negara secara sistematis menggunakan pasal-pasal karet dan hukum yang dipaksakan—seperti pasal penghasutan, ujaran kebencian, perusakan fasilitas umum, hingga pasal keamanan negara—untuk membungkam kritik dan menghambat konsolidasi gerakan. Praktik ini mencerminkan apa yang oleh Angela Davis dibaca sebagai perluasan logika carceral state, dimana hukum pidana berfungsi sebagai alat politik untuk mengelola ketidaksetaraan struktural dan membatasi ruang perlawanan.

Kelompok-kelompok yang dikriminalisasi berada di persimpangan produksi pengetahuan kritis, kerja reproduktif sosial, dan praktik perlawanan politik—posisi yang secara historis dipersepsikan negara sebagai ancaman. Mahasiswa dan warga tidak hanya menjadi aktor utama protes sosial, tetapi juga target utama represi negara untuk memutus regenerasi politik dan transmisi pengetahuan perlawanan. Dalam kerangka Achille Mbembe, praktik ini dapat dibaca sebagai bagian dari necropolitics: negara menentukan siapa yang boleh hidup dengan aman di ruang publik, dan siapa yang hidupnya dapat dipaparkan pada kekerasan, trauma, dan kriminalisasi tanpa konsekuensi bagi pelaku negara.

Politik ingatan menjadi medan represi yang tak terpisahkan dari kekerasan fisik dan hukum. Kasus Laras, manipulasi ingatan atas Marsinah, glorifikasi Soeharto, serta penghapusan sejarah pemerkosaan massal 1998 menunjukkan bahwa negara secara aktif mengelola sejarah untuk menjaga impunitas. Penghapusan ingatan ini bekerja sebagai kekerasan simbolik dan epistemik, yang memutus relasi antara pengalaman tubuh—terutama tubuh perempuan—dengan klaim keadilan politik. Sebagaimana ditunjukkan oleh Federici dan diperluas dalam kajian Rhacel Salazar Parreñas, penghapusan ini juga menargetkan kerja perawatan dan narasi perempuan sebagai sumber pengetahuan politik yang sah.

Dengan demikian, kekerasan aparat, kriminalisasi aktivisme, dan politik penghapusan ingatan membentuk satu rangkaian kekerasan negara yang bekerja simultan di ranah fisik, hukum, pengetahuan, dan reproduksi sosial. Sepanjang 2025, konsolidasi otoritarianisme sosial tidak hanya dijalankan melalui aparat bersenjata dan penjara, tetapi juga melalui pengelolaan tubuh, ingatan, dan masa depan rakyat—dengan perempuan, mahasiswa, buruh, dan kelompok marjinal sebagai sasaran utama disiplin politik negara.

2. Krisis Ekologi: Bencana yang Diproduksi Negara dan Korporasi, serta Pemiskinan Struktural Perempuan

Sepanjang 2025, Indonesia mengalami rangkaian bencana ekologis—banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, abrasi, banjir rob, hingga krisis air—yang terjadi hampir tanpa jeda dan meluas di berbagai wilayah. Pola sebaran bencana menunjukkan irisan yang konsisten dengan deforestasi masif, ekspansi perkebunan sawit, pertambangan, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), serta penghapusan wilayah adat dan ruang hidup rakyat. Pemetaan ini memperlihatkan bahwa bencana tidak mengikuti dinamika alam semata, melainkan mengikuti logika kekuasaan, ekstraksi, dan akumulasi kapital.

Bencana-bencana tersebut bukan peristiwa alam yang netral, melainkan diproduksi melalui kebijakan pembangunan ekstraktif yang secara sistematis mengabaikan daya dukung lingkungan, meniadakan hak masyarakat lokal, dan memprioritaskan kepentingan investasi. Negara tidak hanya gagal mencegah kerusakan, tetapi secara aktif memfasilitasi penghancuran ekologis melalui regulasi, perizinan, dan proyek infrastruktur berskala besar. Ketika dampak menghantam rakyat, negara merespons krisis ekologi terutama melalui pendekatan darurat, karitatif, dan temporer—tanpa penghentian proyek perusak lingkungan, tanpa pemulihan ekologis yang substantif, dan tanpa penegakan akuntabilitas terhadap korporasi.

Dalam banyak kasus, suara warga korban bencana justru dibungkam. Protes terhadap tambang, sawit, PSN, dan proyek infrastruktur dibalas dengan intimidasi, kriminalisasi, pembatasan ruang sipil, hingga kekerasan aparat. Penanganan krisis ekologis pun dikelola sebagai persoalan keamanan dan stabilitas investasi, bukan sebagai persoalan keadilan ekologis dan hak asasi manusia. Dengan demikian, bencana menjadi perpanjangan dari tata kelola otoritarian: kerusakan dibiarkan, korban didisiplinkan.
Dalam kerangka ini, krisis ekologi tidak pernah netral gender. Kerusakan lingkungan beroperasi di atas struktur patriarki dan kapitalisme yang telah lebih dulu memposisikan perempuan sebagai penyangga utama kehidupan sehari-hari. Ketika tanah, air, hutan, dan laut rusak, perempuan berada di garis depan dampak sekaligus menjadi sasaran disiplin sosial yang berlapis.

Perempuan menanggung kehilangan mata pencaharian subsisten akibat rusaknya sumber produksi hidup—ladang, kebun, pesisir, sungai, dan hutan. Di saat yang sama, mereka mengalami peningkatan drastis kerja perawatan pasca bencana: merawat anak, lansia, orang sakit, dan anggota keluarga yang kehilangan rumah, pekerjaan, serta akses layanan dasar. Di lokasi pengungsian, perempuan menghadapi kerentanan berlapis terhadap kekerasan seksual, pelecehan, dan kontrol moral atas tubuh mereka. Krisis air, pangan, dan energi rumah tangga memperluas kerja tak dibayar perempuan, memaksa mereka menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga untuk memastikan keberlangsungan hidup keluarga.

Dalam perspektif feminisme materialis dan teori reproduksi sosial, tubuh dan waktu perempuan diserap secara terus-menerus untuk menambal kerusakan ekologis yang diproduksi kebijakan negara dan korporasi. Kerja ini tidak diakui sebagai kerja, tidak dilindungi, dan tidak dihitung dalam kebijakan pemulihan maupun perhitungan ekonomi negara. Namun justru kerja inilah yang menjadi fondasi keberlangsungan komunitas dan memastikan stabilitas sosial pascabencana. Negara dan korporasi menikmati hasil akumulasi, sementara biaya sosial dan ekologisnya dialihkan ke tubuh perempuan.
Bencana kemudian dinormalisasi sebagai kejadian rutin, sementara beban hidup perempuan dipermanenkan sebagai “tanggung jawab alami”. Normalisasi ini adalah bentuk kekerasan struktural: penderitaan ekologis dijadikan latar permanen kehidupan rakyat, dan kerja perawatan perempuan diperlakukan sebagai sumber daya tak terbatas yang bisa terus dieksploitasi.

Dengan demikian, krisis ekologis sepanjang 2025 bukanlah kegagalan kebijakan, melainkan konsekuensi yang diterima, dikelola, dan bahkan dimanfaatkan oleh negara. Pengelolaan krisis yang memadukan pembiaran ekologis, pendekatan teknokratis-darurat, kriminalisasi protes, dan disiplin aparat menunjukkan bahwa bencana berfungsi sebagai instrumen konsolidasi otoritarianisme sosial. Dalam konfigurasi ini, kekerasan ekologis dan kekerasan negara saling menguatkan, dengan perempuan—terutama perempuan miskin, adat, dan pesisir—sebagai korban utama sekaligus penyangga yang dipaksa menopang kehancuran yang tidak mereka ciptakan.

3. Konflik Agraria Struktural

Sepanjang 2025, konflik agraria terjadi hampir merata di seluruh provinsi dengan pola sektoral yang berulang dan saling menguatkan. Di Sumatra, konflik didominasi ekspansi perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Di Kalimantan, konflik beririsan dengan pertambangan, sawit, dan konsesi kehutanan. Di Sulawesi–Maluku, konflik meningkat seiring ekspansi nikel dan mineral kritis. Di Papua, konflik agraria berlangsung dalam konteks perkebunan, pertambangan, serta operasi keamanan negara. Pola ini menunjukkan bahwa perampasan tanah berjalan seiring dengan perluasan proyek strategis dan kepentingan geopolitik sumber daya.

Dalam hampir seluruh konflik tersebut, aparat negara dikerahkan untuk penggusuran, pengamanan konsesi, dan penertiban warga. Kekerasan—baik fisik, hukum, maupun administratif—menjadi mekanisme utama penguasaan tanah. Negara memposisikan diri sebagai penjamin investasi, sementara warga diperlakukan sebagai gangguan terhadap stabilitas dan ketertiban. Perlawanan rakyat kemudian dibingkai sebagai pelanggaran hukum dan ancaman keamanan, sehingga legitimasi kekerasan aparat diproduksi secara institusional.

Tanah yang dirampas bukan semata alat produksi, melainkan ruang hidup, ruang pangan, dan basis reproduksi sosial. Bagi perempuan, kehilangan tanah berarti hilangnya kebun subsisten, sumber air, benih, obat-obatan tradisional, serta fondasi ekonomi keluarga. Penghancuran ruang hidup ini secara langsung merusak kerja reproduktif perempuan—kerja yang menopang kehidupan sehari-hari, regenerasi komunitas, dan keberlanjutan sosial—namun sepenuhnya dihapus dari perhitungan ekonomi dan kebijakan negara.

Konflik agraria juga menyingkap perbedaan mendasar antara cara negara dan perempuan memaknai tanah dan pangan. Negara memandang tanah sebagai komoditas dan pangan sebagai objek investasi, sementara perempuan memaknainya sebagai relasi hidup, perawatan, dan kesinambungan generasi. Ketika tanah dirampas, perempuan menanggung beban berlapis: pemiskinan struktural, perluasan kerja tak dibayar, serta peningkatan kerentanan terhadap intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi.

Dengan demikian, konflik agraria sepanjang 2025 merupakan konflik struktural yang berakar pada model pembangunan ekstraktif, konsesi berbasis kekuasaan, dan penggunaan aparat negara sebagai instrumen penertiban politik. Dalam konfigurasi ini, tubuh perempuan dan ruang hidup rakyat menjadi medan utama akumulasi dan disiplin, menjadikan konflik agraria sebagai bagian tak terpisahkan dari konsolidasi otoritarianisme sosial.

4. Krisis Pangan dan Program MBG: Tubuh Rakyat sebagai Arena Eksperimen Kebijakan

Sepanjang 2025, Marsinah.id mencatat bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dipromosikan negara sebagai solusi atas krisis gizi nasional, justru memproduksi krisis baru di lapangan. Implementasi MBG ditandai oleh rantai pasok yang tersentralisasi, pengabaian pangan lokal, serta lemahnya pengawasan keamanan pangan. Konfigurasi kebijakan ini berujung pada puluhan ribu kasus keracunan pangan, terutama di sekolah dasar dan menengah, yang secara terang memperlihatkan kegagalan negara dalam menjamin keselamatan tubuh anak-anak.

Dalam kerangka biopolitik, MBG menunjukkan bagaimana negara mengelola kehidupan (to make live) melalui intervensi langsung atas tubuh rakyat—khususnya tubuh anak—namun melakukannya tanpa mekanisme perlindungan yang memadai. Negara hadir bukan sebagai penjamin keselamatan, melainkan sebagai pengatur konsumsi, gizi, dan distribusi pangan secara koersif dan eksperimental. Tubuh anak direduksi menjadi objek statistik kebijakan gizi, sementara risiko kesehatan yang ditimbulkan tidak dianggap sebagai kegagalan struktural, melainkan sebagai insiden teknis yang dapat dinegosiasikan.

Mayoritas korban keracunan pangan berasal dari keluarga kelas pekerja. Ketika anak-anak mengalami keracunan, perempuan—sebagai ibu dan pengasuh utama—menanggung beban berlapis: perawatan intensif anak, biaya kesehatan tambahan, kehilangan waktu kerja dan penghasilan, serta stigma sosial yang menyalahkan keluarga alih-alih kebijakan negara. Di sinilah social reproduction theory menjadi kunci pembacaan: kegagalan negara dalam menjamin pangan yang aman tidak dihapus, melainkan dialihkan ke ranah domestik, dan ditanggung melalui kerja reproduktif perempuan yang tidak dibayar dan tidak diakui.

Negara, dalam hal ini, mengandalkan kerja reproduktif perempuan sebagai buffer krisis. Ketika kebijakan pangan publik gagal, sistem tidak runtuh karena perempuan dipaksa menutup celahnya: merawat tubuh yang sakit, menenangkan trauma anak, mengatur ulang ekonomi rumah tangga, dan memastikan reproduksi kehidupan tetap berlangsung. Kerja ini tidak pernah dihitung sebagai biaya kebijakan, tidak dilindungi oleh sistem jaminan sosial, dan tidak dianggap sebagai kerja politik, padahal tanpanya negara tidak dapat mempertahankan stabilitas sosial.

Krisis MBG menyingkap karakter kebijakan pangan negara yang sentralistik, berorientasi proyek, dan memutus relasi sosial pangan. Negara mengambil alih dapur, rantai pasok, dan sistem distribusi pangan tanpa akuntabilitas yang memadai, sembari meminggirkan pengetahuan lokal dan peran perempuan sebagai pengelola pangan keluarga dan komunitas. Dalam perspektif feminisme materialis, pengambilalihan ini bukan sekadar soal efisiensi administratif, melainkan soal perebutan kontrol atas sarana reproduksi kehidupan—pangan, dapur, dan kerja perawatan—yang secara historis dikelola oleh perempuan dan komunitas.

Tubuh anak, bersama kerja reproduktif perempuan, kemudian dijadikan arena eksperimen kebijakan. Risiko kesehatan, sosial, dan psikologis sepenuhnya ditanggung oleh rakyat, sementara negara mempertahankan klaim moral sebagai penyedia “kepedulian” melalui program pangan. Ini memperlihatkan logika biopolitik yang timpang: negara mengklaim kuasa atas kehidupan, tetapi menolak tanggung jawab atas dampak kebijakannya. Dalam logika ini, kegagalan tidak pernah benar-benar gagal—selama ada tubuh perempuan yang bisa dipaksa menanggung konsekuensinya.
Alih-alih melakukan koreksi struktural, negara merespons kritik dan keluhan warga dengan pembatasan ruang partisipasi serta pembungkaman suara korban. Orang tua yang bersuara, guru yang mengeluhkan keamanan pangan, dan komunitas yang menolak skema distribusi diposisikan sebagai pengganggu ketertiban program. Pola ini menegaskan bahwa kebijakan pangan dikelola dalam kerangka penertiban politik, bukan pemenuhan hak atas pangan yang aman dan bermartabat. Dengan demikian, krisis pangan tidak berdiri sendiri, melainkan terjalin erat dengan praktik otoritarianisme sosial yang juga tampak dalam pengelolaan krisis ekologi, konflik agraria, dan perampasan ruang hidup.

Laporan Tahunan Marsinah.id 2025 menegaskan bahwa krisis sepanjang tahun ini bukanlah krisis yang netral, melainkan krisis yang bersifat gendered. Negara secara sistematis mengontrol pangan tanpa mengakui pengetahuan perempuan, mengandalkan kerja reproduktif perempuan tanpa perlindungan, dan mengkriminalisasi perempuan yang melawan perampasan tanah, pangan, dan ruang hidup. Dalam tata kelola pembangunan saat ini, tubuh perempuan menjadi lokasi utama pemindahan risiko: risiko kebijakan yang gagal, proyek yang merusak, dan kekerasan struktural yang dilegitimasi oleh hukum dan aparat.

Program Makan Bergizi Gratis memperlihatkan dengan jelas bagaimana kebijakan pangan negara bekerja bukan untuk kedaulatan pangan, melainkan untuk kontrol sosial atas tubuh dan kerja reproduktif perempuan. Ketika program gagal, beban perawatan, biaya kesehatan, stigma sosial, dan kehilangan penghasilan kembali dialihkan kepada perempuan—terutama ibu, buruh perempuan, dan pekerja informal—tanpa mekanisme pertanggungjawaban negara. Dalam kerangka feminisme materialis, ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari cara negara dan kapital mempertahankan keberlangsungan sistem dengan menekan biaya reproduksi kehidupan ke tubuh perempuan.

Di tengah kegagalan negara tersebut, perempuan justru membangun praktik kedaulatan pangan dari bawah melalui dapur kolektif, lumbung komunitas, kebun pangan lokal, dan jaringan solidaritas berbasis komunitas. Praktik-praktik ini bukan kerja domestik yang apolitis, melainkan praktik politik radikal yang mempertahankan kehidupan, merawat tubuh, dan mereproduksi solidaritas sosial di tengah krisis struktural. Di sini, perempuan menolak posisi sebagai objek kebijakan dan menegaskan diri sebagai subjek politik yang mengelola pangan, kehidupan, dan relasi sosial secara kolektif.

Kedaulatan pangan tidak mungkin diwujudkan melalui kebijakan sentralistik, teknokratis, dan represif. Kedaulatan pangan hanya dapat tercapai jika tanah dan sumber daya pangan dikembalikan kepada rakyat, kekerasan negara dihentikan, rantai pangan direlokalisasi, dan kerja reproduktif diakui sebagai kerja politik yang harus dilindungi. Perempuan harus diakui sebagai subjek politik utama dalam perumusan dan pengambilan keputusan pangan—bukan sekadar pelaksana dari kebijakan negara yang gagal, tetapi sebagai pengelola kehidupan yang selama ini menopang masyarakat di tengah krisis yang diciptakan negara sendiri.

PEMISKINAN STRUKTURAL

Upah Murah, Informalisasi, Migrasi Paksa, dan Perdagangan Manusia
Kekerasan struktural sepanjang 2025 tidak hanya hadir dalam bentuk aparat bersenjata, kriminalisasi, dan represi langsung, tetapi juga bekerja melalui kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan negara yang secara sistematis memiskinkan rakyat. Kebijakan ini mendorong migrasi tanpa perlindungan dan memperluas kerentanan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), terutama bagi perempuan.
Kami menolak narasi dominan yang menyalahkan kemiskinan, migrasi, dan perdagangan orang sebagai akibat “pilihan individu”. Sepanjang 2025, Marsinah.id mencatat bahwa seluruh rangkaian ini merupakan hasil langsung dari kebijakan negara yang melegalkan kerja murah, kerja rentan, dan pengabaian terhadap perlindungan sosial.

1. Upah Murah yang Dilegalkan Negara

Sepanjang 2025, negara mengklaim telah menaikkan upah buruh. Namun di lapangan, kenaikan tersebut tidak pernah mengejar biaya hidup riil—terutama di tengah krisis pangan, krisis energi, dan dampak bencana ekologis yang kian meluas. Upah murah bukan kegagalan teknis, melainkan strategi politik ekonomi untuk menekan biaya produksi, menjaga iklim investasi, dan mengorbankan kesejahteraan buruh beserta keluarganya.

Bagi perempuan buruh, upah murah berarti beban yang berlapis. Mereka bekerja dengan upah tidak layak sekaligus menanggung kerja reproduktif yang kian berat akibat mahalnya pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Kenaikan upah yang “naik tetapi tidak layak” adalah bentuk pemiskinan struktural yang disamarkan sebagai kebijakan progresif.

2. Informalisasi Kerja dan Kemitraan Palsu

Tahun 2025 ditandai oleh percepatan informalisasi kerja di hampir seluruh sektor: manufaktur, jasa, pertanian, hingga ekonomi digital. Atas nama fleksibilitas pasar tenaga kerja, negara mendorong sistem kerja yang menghapus kepastian kerja, jaminan sosial, perlindungan hukum, dan hak berorganisasi.

Dalam ekonomi digital, skema kemitraan palsu—terutama pada pengemudi ojek online—menjadi bentuk baru eksploitasi. Relasi kerja disamarkan sebagai kemitraan, sementara seluruh risiko produksi dialihkan kepada pekerja. PHK massal, pemutusan sepihak, dan skema insentif semu menjadikan buruh, termasuk perempuan, sebagai pekerja tanpa status dan tanpa perlindungan
Informalisasi bukan adaptasi zaman, melainkan strategi pemiskinan yang dilegalkan negara.

3. Migrasi sebagai Jalan Paksa, Bukan Pilihan Bebas

Dalam kondisi upah murah, kerja tidak pasti, dan PHK massal, migrasi tenaga kerja menjadi jalan yang dipaksakan oleh keadaan, bukan pilihan bebas. Perempuan menjadi kelompok yang paling terdorong untuk bermigrasi demi menopang ekonomi keluarga.

Di saat yang sama, negara secara kontradiktif: mengandalkan remitansi sebagai sumber devisa, mengklaim perlindungan pekerja migran. Namun gagal menyediakan kerja layak di dalam negeri. Migrasi tanpa perlindungan yang memadai menjadikan perempuan rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan kriminalisasi di negara tujuan. Negara menciptakan kondisi migrasi paksa, lalu abai terhadap risiko yang dihadapinya.

4. TPPO: Kejahatan yang Tumbuh dari Kebijakan Negara

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak dapat dilepaskan dari: upah murah di dalam negeri, informalisasi kerja, minimnya perlindungan migran, serta normalisasi kerja rentan bagi perempuan.

Perempuan migran kerap direkrut melalui jalur tidak aman, dipaksa bekerja dalam kondisi eksploitatif, mengalami kekerasan seksual, dan dikriminalisasi ketika melawan. TPPO bukan sekadar kejahatan individu atau sindikat, melainkan kejahatan struktural yang tumbuh subur di negara yang gagal—dan sering kali sengaja abai—melindungi rakyatnya sendiri.


5. Pemiskinan Struktural sebagai Benang Merah Kekerasan 2025

Upah murah, informalisasi kerja, kemitraan palsu, migrasi tanpa perlindungan, dan TPPO membentuk satu rangkaian pemiskinan struktural yang saling menguatkan dengan konflik agraria, krisis ekologis, dan kriminalisasi.Perempuan berada di titik paling rentan karena: kerja reproduktifnya tidak diakui, tubuhnya dikomodifikasi, dan migrasinya diperlakukan sebagai sumber devisa, bukan sebagai hak.

Ketika negara memproduksi kemiskinan, lalu menyalahkan rakyat atas strategi bertahan hidup mereka, Marsinah.id menegaskan keberpihakan: kami berpihak pada buruh, perempuan, dan migran—bukan pada statistik pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulan Politik

Seluruh peristiwa sepanjang 2025—krisis pangan, konflik agraria, bencana ekologis, kriminalisasi perempuan, manipulasi sejarah, dan kebijakan ketenagakerjaan eksploitatif—merupakan satu arsitektur kekerasan struktural negara. Kekerasan ini bekerja untuk mengamankan kepentingan korporasi, merampas kedaulatan rakyat, dan membebankan krisis pada tubuh, waktu, dan kerja perempuan.
Negara boleh bersenjata. Tetapi perempuan memiliki ingatan, solidaritas, dan keberanian.

Marsinah.id mencatat. Marsinah.id mengingat. Marsinah.id melawan. Kami berpihak pada buruh, perempuan, dan migran—bukan pada pertumbuhan ekonomi yang dibangun di atas penderitaan dan penghapusan sejarah.

REKOMENDASI MARSINAH.ID
Berdasarkan temuan sepanjang tahun 2025 terkait kekerasan aparat, kriminalisasi aktivisme, krisis pangan berbasis MBG, konflik agraria, bencana ekologis, serta penghapusan sejarah kekerasan terhadap perempuan, Marsinah.id merekomendasikan:

  1. Hentikan seluruh bentuk kekerasan aparat dan praktik impunitas negara, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan dalam penanganan konflik agraria, pangan, dan lingkungan.
  2. Bebaskan seluruh aktivis, perempuan pembela HAM, dan warga yang dikriminalisasi, serta hentikan penggunaan pasal-pasal karet untuk membungkam kritik sosial dan perlawanan damai.
  3. Hentikan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM, buruh perempuan, petani perempuan, dan aktivis pangan, serta akui kerentanan gender dalam seluruh proses hukum.
  4. Lakukan evaluasi total dan hentikan pelaksanaan MBG yang bermasalah, khususnya yang terbukti menimbulkan keracunan, mengabaikan keamanan pangan, dan meminggirkan perempuan sebagai pengelola pangan.
  5. Bangun kebijakan pangan berbasis kedaulatan pangan lokal, dengan mengakui peran sentral perempuan dan komunitas dalam produksi, distribusi, dan pengelolaan pangan.
  6. Hentikan seluruh proyek ekstraktif dan pembangunan perusak ruang hidup, termasuk yang memicu konflik agraria, krisis ekologis, dan pemiskinan struktural masyarakat.
  7. Laksanakan reforma agraria sejati yang berperspektif gender, termasuk pengakuan hak perempuan atas tanah, sumber daya alam, dan pengambilan keputusan.
  8. Pulihkan secara menyeluruh hak-hak korban konflik agraria, bencana ekologis, dan krisis pangan, termasuk pemulihan ekonomi, sosial, kesehatan, dan psikologis.
  9. Akui dan adili seluruh pelanggaran HAM berat, termasuk kejahatan negara terhadap buruh, perempuan, dan rakyat, tanpa impunitas dan tanpa rekayasa sejarah.
  10. Akui secara resmi sejarah pemerkosaan massal Mei 1998, buka kebenaran, adili pelaku, dan pulihkan hak serta martabat korban perempuan.
  11. Libatkan perempuan secara bermakna dan setara dalam perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan pangan, lingkungan, agraria, dan pembangunan.
  12. Akui sejarah perlawanan buruh dan perempuan sebagai bagian dari keadilan struktural, bukan sebagai simbol, ornamen, atau alat legitimasi kekuasaan negara.
  13. Tetapkan upah layak berbasis kebutuhan hidup riil, bukan kepentingan investasi.
  14. Hentikan informalisasi kerja dan akui relasi kerja dalam ekonomi digital.
  15. Akhiri kemitraan palsu dan lindungi pekerja platform sebagai buruh.
  16. Sediakan kerja layak di dalam negeri untuk mencegah migrasi paksa.
  17. Perkuat perlindungan buruh migran perempuan dari hulu ke hilir.
  18. Tangani TPPO sebagai kejahatan struktural, bukan sekadar kriminal individual.



Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Saya Jawab: “Ya, Saya Pernah Berserikat”

gambar diambil dari http://somo.nl/news-en/indian-garment-workers-face-harsh-working-conditions/image Saya biasa bekerja berpindah-pindah tempat, dari satu perusahaan ke perusahaan lain, tapi masih di KBN Cakung. Bulan lalu, sayapun melamar di sebuah

Dear, 30 September 2019

Aku AL, Pelajar STM di daerah Kabupaten Bogor. Aku bersama ke-3 temanku berencana akan mengikuti demo di depan gedung DPR/MPR RI di Jakarta. Waktu itu