Merebut Kembali Agensi Atas Waktu Lewat Membaca dan Menulis

Lingkar baca kali ini membahas cerpen “Lebaran Ini” karya Umar Kayam, yang dibaca bersama-sama oleh peserta. Cerpen yang mengangkat kisah Nem, seorang pekerja rumah tangga (PRT) yang telah mengabdi selama 20 tahun pada majikannya, memantik perasaan nostalgia, kerinduan, dan refleksi mendalam di antara peserta.

Lingkar Baca Marsinah #2

Jakarta, 26 Juli 2025 – Marsinah.ID kembali menyelenggarakan Lingkar Baca Marsinah (LBM) pada Sabtu malam, 26 Juli 2025. Sesi kedua yang bertajuk “Kerja dan Waktu” ini dihadiri oleh belasan peserta dari ragam latar belakang.

Lingkar baca kali ini membahas cerpen “Lebaran Ini” karya Umar Kayam, yang dibaca bersama-sama oleh peserta. Cerpen yang mengangkat kisah Nem, seorang pekerja rumah tangga (PRT) yang telah mengabdi selama 20 tahun pada majikannya, memantik perasaan nostalgia, kerinduan, dan refleksi mendalam di antara peserta.

“Durasi kerja tokoh utama adalah 20 tahun, bagaimana ya rasanya? Kalau kerja di korporat mungkin tak terbayang, malah bekerja untuk organisasi bisa lebih lama,” ujar Dian Septi, membuka sesi berbagi pengalaman.

Bagi sebagian peserta, cerita ini memunculkan kenangan bersama PRT yang pernah hadir dalam kehidupan mereka. Venda Pratama misalnya, mengingat bahwa meski keluarganya hidup pas-pasan, kehadiran PRT dianggap lumrah. Sementara Ellena merefleksikan bagaimana PRT seperti anggota keluarga karena lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anak majikan dibanding orang tua mereka sendiri.

“Cerpen ini juga menampilkan agensi pada PRT karena ada ruang negosiasi dengan caranya sendiri. Tapi di sisi lain, kondisi mereka tetap sangat rentan,” ungkap Chong Lee. “Nem tidak tahu apa yang akan dia hadapi saat pulang ke kampungnya, dan itu mencerminkan realitas banyak PRT hari ini.”

Kerja, Waktu, dan Frustrasi yang Mengikat

Diskusi berkembang pada bagaimana cerpen Umar Kayam dan cerpen Seno Gumira berjudul “Sarman” yang sama-sama menyoroti waktu panjang yang dikorbankan dalam kerja. “Sarman” Karya Seno menggambarkan frustrasi selama sepuluh tahun yang memuncak dalam satu peristiwa, sedangkan Umar Kayam memotret waktu yang panjang dengan cara berbeda. Hanfa menyebut cerita Seno begitu gelap, namun keduanya sama-sama menampilkan perampasan kebebasan dan waktu dari para pekerja. Ellena menambahkan bahwa ada perbedaan cara mengekspresikan frustrasi: PRT dalam cerpen Umar Kayam mengekspresikan dengan cara yang lebih “feminin” karena berakar pada kerja domestik, sementara karakter Sarman di cerita Seno lebih meledak-ledak.

Binti Rosidah berbagi pengalaman pribadinya sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia. Ia menceritakan bagaimana izin untuk pulang kampung harus dinegosiasikan dengan majikan dengan berbagai syarat, bahkan gaji harus ditahan jika memutuskan cuti. Cerita ini menggarisbawahi bahwa “kerja menjadi pilihan wajib karena ada tanggungan”, sehingga pekerja seringkali kehilangan kendali atas waktu mereka sendiri.

Kerja Sebagai Ruang Tekanan Kolektif

Tidak hanya PRT, pengalaman kerja di industri garmen maupun organisasi pun penuh tekanan. Anisa menuturkan bahwa industri sering kali sarat seksisme, diskriminasi, dan kekerasan berbasis gender. “Industri dianggap bisa mengembangkan diri, tapi justru malah membuat kita bodoh. Serikat pekerja pun sering tidak bertahan lama,” ujarnya.

Yuli Riswati menegaskan bahwa relasi kerja di berbagai sektor—industri, kantor, organisasi, rumah tangga, bahkan industri hiburan—selalu penuh tekanan. Tanpa dukungan sosial, tekanan ini dapat memicu stres berkepanjangan.

Menulis Sebagai Perlawanan

Sesi kemudian beralih membahas konsep waktu dan bagaimana menulis bisa menjadi cara untuk merebut kembali kendali atas waktu. Hanfa, yang kesehariannya menulis dalam konteks akademik, melihat membaca fiksi sebagai ruang jeda dari rutinitas. Binti bercerita bahwa menulis diary dan catatan harian membantunya meluapkan perasaan sekaligus merekam waktu.

“Menulis itu melatih kesabaran. Ketika isi kepalaku berisik, menulis jadi cara untuk menyalurkan pikiran,” kata Dian Septi.

Ita Purnama menambahkan praktik menulis harian yang diterapkan di organisasinya, LION. Tulisan-tulisan ini menjadi medium berbagi perasaan antar anggota yang jarang bertemu.

“Ketika bertemu lagi, yang ditanya bukan soal program, tapi ‘Apakah hari ini kamu merasa senang?’

Merebut Kembali Agensi atas Waktu

Catatan kunci dari Lingkar Baca Marsinah #2 adalah bahwa kerja sering kali merampas kebebasan atas waktu pekerja. Waktu yang seharusnya dikuasai individu justru diatur oleh pemberi kerja, menimbulkan frustrasi dan tekanan.

Melalui membaca dan menulis, peserta Lingkar Baca Marsinah berusaha merebut kembali agensi atas waktu mereka sendiri. Kegiatan ini bukan hanya ruang refleksi, tetapi juga bentuk perlawanan atas sistem kerja yang sering memenjarakan kehidupan personal.

“Menulis adalah bentuk perjuangan,” simpul para peserta. “Ia membantu kita merekam peristiwa, berinteraksi dengan perasaan, dan menciptakan ruang untuk diri sendiri di tengah tekanan kerja yang panjang.”

Lingkar Baca Marsinah selanjutnya akan kembali digelar dengan bacaan dan topik baru. Kegiatan ini diharapkan terus menjadi ruang aman bagi buruh, aktivis, dan masyarakat untuk berbagi pengalaman, memperkuat solidaritas, dan membangun kesadaran kritis.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Sebuah Janji Bersama untuk Media Buruh

Awan gelap menggelayut di atap langit, mengiringi kehadiranmu. Kau datang lebih awal dengan sisa kelelahan di hari itu. Kau bilang esok adalah Konferensi Nasional Media

Bukan Hari Ibu Biasa

Boleh dibilang, glorifikasi terhadap peran ibu, sebagaimana ideologi “ibuisme” yang terus dikampanyekan Orde Baru melalui perayaan Hari Ibu, tak lain adalah upaya mengembalikan perempuan di ranah domestik.

Mencari Pundi-pundi rezeki

Malam minggu itu, para remaja biasanya menikmati malam bersama sang kekasih. Tetapi, tidak dengan Imam. Remaja kelahiran 1999 ini justru bekerja selama 8 jam. Tidak

Polemik Tunjangan Hari Raya: Masalah Tahunan yang Terus Berulang

Nisa (buruh sekaligus Pengurus Basis FSBPI PT. Wahyu Bina Mulia di makassar yang bergerak dalam industri pengolahan ikan laut) menceritakan kondisi pada saat ini di perusahaannya terkait Tunjangan Hari Raya. Nisa mengatakan bahwasanya perusahaan tempat ia bekerja setiap tahunnya memberikan Tunjangan Hari Raya akan tetapi Tunjangan Hari Raya yang diberikan perusahaan tempat ia bekerja tersebut hanya berupa “bingkisan” senilai Rp 1.000.000