Aksi Kamisan ke 433 di depan Istana/mutia
Oleh Muthmainah
Aksi Kamisan ke-433 di depan Istana Negara pada Hari Kamis tanggal 3 Maret 2016 yang dilakukan oleh para korban, keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu dan pegiat HAM seperti LBH Jakarta, Federasi Buruh Lintas Pabrik, KontraS, Federasi Mahasiswa Kerakayatan, para korban tragedi 65 di Madiun, dimulai dengan aksi diam yang berlangsung selama 1 jam dan dilanjutkan dengan refleksi terkait kriminalisasi yang menimpa 23 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 pengabdi bantuan hukum, karena menuntut pembatalan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Pada tiap Aksi Kamisan setelah refleksi, akan menyerahkan surat kepada Presiden RI. Aksi kali ini dimulai pada pukul 16.00 dan berakhir pada pukul 17.30.
Pada sesi refleksi, beberapa perwakilan korban dan aliansi masyarakat sipil menyampaikan pendapatnya. Refleksi pertama disampaikan oleh Tiwi dari LBH Jakarta. Tiwi mengemukakan bahwa setiap warga harus melawan lupa terhadap ketidakadilan yang kita alami. Beliau mengatakan bahwa kereshan terus dialami dengan kondisi negara yang tetap diam akan ketidakdilan. Tiwi menyerukan kepada Pak Jokowi untuk terus mengusut seluruh pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, ironisnya justru pemerintah tidak menyukai aksi yang dilakukan oleh rakyat yang sedang melawan ketidakadilan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pembungkaman kebebasan berpendapat berpikir dan berekspresi. Rakyat yang tidak suka dianggap mengancam negeri yang ditunjukkan dengan adanya pembubaran aksi buruh menolak PP Pengupahan, pembubaran secara paksa Festival Belok Kiri, serta penghilangan paksa, penculikan, pembunuhan, dan kriminalisasi terhadap aktivvis. “Demokrasi di Indonesia terus diancam! Kita harus selalu adil sejak dalam pikiran melawan ketidakadilan salah satunya dengan hadir dalam acara Kamisan ini!”, ujar Tiwi dari LBH Jakarta.
Refleksi kedua disampaikan oleh Usman Hamid dari KontraS. Kemerosotan demokrasi di Indonesia terus bergulir. Setidaknya ada 6 pandangan politik yg dianggap tabu, yaitu Marxisme dan segala paham yang diasosiasikan dengan PKI, pandangan politik yang bersifat atheisme contohnya yang terjadi di Sumbar, gerakan idealis yang dianggap bahaya seperti gerakan aktivis pemuda di Papua, gerakan environmentalist yang salah satunya diperjuangkan oleh kawan-kawan di Bali yang menolak reklamasi, dan orang-orang LGBT, serta aktivis masyarakat. Hal ini terjadi karena negara tidak mau menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dan disusul dengan peristiwa-peristiwa represi lainnya yang merupakan bentuk kegagalan negara dalam melakukan perlindungan HAM. “Kita harus menciptakan tekanan politik yang besar agar perubahan yang diidamkan pasca reformasi dapat diwujudkan”, ujar Usman Hamid.
Refleksi ketiga disampaikan oleh Dian dari Federasi Buruh Lintas Pabrik. Dian mengatakan bahwa Jokowi telah melakukan penghinaan dengan menjadikan nama Masrinah sebagai alat kampanyenya dengan menggunakan janji Piagam Marsinah untuk menarik simpati kaum buruh. Beliau menambahkan bahwa kita tidak bisa terus-terusan memaklumkan Jokowi dengan alasan beliau dikelilingi oleh orang jahat. Dian menambahkan bahwa negara ini telah melakukan kesewenang-wenangan terhadap kaum buruh dengan memukul kaum buruh serta melarang penggunaan megafon saat aksi. Saat aksi tanggal 30 Oktober pun negara secara tega dalam hal ini polisi melakukan pemukulan terhadap kaum buruh yang dibawa ke arah Monumen Nasional. Kaum buruh dipaksa untuk menandatangani persetujuan menjadi tersangka dengan pasal subversif bahkan seorang buruh yang sudah berumur 55 tahun dipukuli dan disetrum. “Ancaman demokrasi terus bermunculan. Kita harus tetap maju dan hadapi saja! Ketika semua orang mundur, kita harus tetap berani melawan!”, ujar Dian.
Aksi Kamisan pun dilanjutkan dengan sesi refleksi yang disampaikan oleh Hasim dari Federasi Mahasiswa Kerakyatan dan ditutup oleh refleksi sekaligus doa oleh korban tragedi 65 di Madiun, Pak Syukat. Aksi Kamisan hari ini memberikan pelajaran penting bahwa di era reformasi ini warga negara belum sepenuhnya merdeka untuk menjemput setiap hak yang dimaktubkan di dalam Konstitusi. Tidak boleh diam dan terus berjuang!