Sebuah Pengantar
K-pop telah menjadi fenomena global yang menarik perhatian khalayak di seluruh dunia. Namun, kemegahan K-pop dibangun di atas eksploitasi para idol sejak usia muda. Mereka harus menghadapi jam kerja panjang, kontrak yang tidak adil, dan standar kecantikan yang tidak realistis, semuanya dipertahankan untuk memenuhi tuntutan pasar. Para idol ini diharapkan menjadi panutan dan mewujudkan kesempurnaan, yang sering kali menyebabkan mereka menderita secara fisik dan mental. Kegagalan dalam memenuhi ekspektasi publik bisa membuat mereka menjadi sasaran perundungan di dunia maya. Kondisi idol perempuan lebih rentan karena sering diobjektifikasi dan menghadapi pelecehan terus-menerus, terutama ketika mereka menolak menjalani peran gender konvensional.
Eksploitasi Berbasis Gender dalam Industri K-POP
“Menjadi idol K-pop adalah yang terburuk,” ujar Sulli (Choi Jinri) dalam film dokumenternya di Netflix. “Saya merasa orang tidak menganggap selebriti sebagai manusia. Mereka melihat kami sebagai produk, bukan sebagai individu.” Sulli menyampaikan kekhawatirannya; “Saya jadi takut kehilangan nilai sebagai produk.” Pernyataan ini menunjukkan realitas pahit di balik kemegahan industri K-pop, di mana para idol perempuan diperlakukan tidak lebih dari komoditas yang harus memenuhi tuntutan publik.
Sebagai produk, idol K-pop perempuan dipaksa untuk terus menjaga citra mereka sesuai dengan harapan masyarakat. Akibatnya, mereka harus bekerja keras agar tetap relevan dan menarik di mata para penggemar. Dalam situasi ini, idol adalah pekerja yang membutuhkan perlindungan. Ketika ditanya apakah mereka membutuhkan serikat pekerja, Sulli dengan tegas menjawab, “Ya, tentu saja.”
Kasus Sulli bukanlah yang pertama; banyak idol K-pop perempuan menghadapi tantangan serupa. Dalam bukunya, “Of the Fans, by the Fans, for the Fans: The JYJ Republic”, Lee Seung-Ah menjelaskan bahwa grup idol dibentuk berdasarkan keterampilan yang beragam—dari vokal hingga penampilan fisik yang menarik. Idol diproduksi untuk memenuhi selera pasar, di mana mereka diharapkan menghasilkan keuntungan bagi agensi mereka. Oleh karena itu, mereka menjalani pelatihan intensif untuk menjadi “produk berkualitas tinggi.”
Sistem pelatihan di industri K-pop dikenal sangat ketat. Menurut studi Olga Fedorenko, para trainee harus melatih fisik mereka, bahkan beberapa diantaranya menjalani operasi plastik untuk meningkatkan daya tarik mereka. Misalnya, Goo Hara menjalani operasi kelopak mata ketika pertama kali masuk ke agensi. Para idol juga diikat oleh kontrak yang ketat, yang sering kali disebut sebagai “kontrak perbudakan.” Salah satu contohnya adalah kontrak TVXQ yang mengikat mereka selama 13 tahun, tanpa hari libur, dan dengan semua keputusan sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan manajemen.
Christopher Zysik dalam artikelnya “K-POP and Suicide – Marginalization and Resistance in the Korean POP Industry” menjelaskan bahwa kontrak semacam ini adalah hal yang lumrah dalam industri K-pop. Idol K-pop perempuan, khususnya, harus membayar biaya pelatihan setelah debut mereka. Sistem kontrak “perbudakan” ini pertama kali diperkenalkan oleh Lee Soo-man, pendiri SM Entertainment pada tahun 1993, dan masih berlanjut hingga sekarang. Idol diharuskan menjalani diet ketat, jadwal pelatihan yang melelahkan, dan sering kali diisolasi dari keluarga mereka.
Kasus Tzuyu, seorang idol perempuan asal Taiwan, adalah contoh lain dari eksploitasi ini. Setelah melambaikan bendera Taiwan di sebuah acara TV Korea, ia dipaksa meminta maaf oleh agensinya, JYP Entertainment. Video tersebut menampilkan Tzuyu tanpa make up, berbaju tutleneck gelap di kamar sempit berdinding putih muram. Penampilan Tzuyu itu menunjukkan citra sebagai anak remaja polos yang pergi ke Korsel demi meraih cita – cita sebagai idol. Citra tersebut berkebalikan dengan citra sebelumnya di atas panggung sebagai gadis bertubuh ramping, seksi, imut dan lucu. Kepentingan agensi jelas, untuk meredam amarah netizen dan mencegah harga saham merosot drastis. Seperti diketahui, skandal Tzuyu telah membuat harga saham JYP entertainment terjermbab. Dalam kasus ini, Tzuyu tidak memiliki kendali atas keputusan tersebut, yang diatur sepenuhnya oleh agensi demi menjaga citranya di mata publik. Seperti yang diungkapkan dalam studi Ji-Hyun Ahn dan Tien-wen Lin, agensi memperlakukan Tzuyu sebagai komoditas yang harus mampu menghasilkan keuntungan, bukan sebagai individu dengan hak untuk mengungkapkan pendapatnya.
Budaya patriarki dalam industri K-pop sangat memengaruhi idol perempuan, yang sering kali diperlakukan secara berbeda dibandingkan idol pria. Amber Liu, seorang idol K-pop, mengungkapkan bahwa industri ini jauh lebih ketat terhadap perempuan. Idol perempuan diharapkan mengikuti standar kecantikan yang sangat ketat dan sering kali tidak realistis. Standar kecantikan ini dipromosikan oleh media Korea yang memuja ciri-ciri seperti lipatan kelopak mata ganda dan rahang yang halus, seperti dijelaskan dalam studi Janice Wong, “No More Taboo: Discursive Tactics for Navigating the Taboo of Cosmetic Surgery.”
Meskipun idol pria dan perempuan sama-sama mengalami seksualisasi di industri K-pop, idol perempuan lebih sering menjadi korban eksploitasi seksual. Seperti yang dikutip oleh Christopher Zysik, Amber Liu menyatakan bahwa ada perbedaan besar dalam perlakuan terhadap idol pria dan perempuan. Industri ini sedikit lebih fleksibel terhadap idol pria, sementara idol perempuan dipaksa untuk terus mengikuti aturan ketat.
Struktur manajemen di industri K-pop juga didominasi oleh pria, yang memperkuat budaya patriarki di balik layar. Menurut laporan “Global Gender Gap Report 2024” oleh World Economic Forum, Korea Selatan menempati peringkat ke-94 dari 146 negara dalam indeks kesenjangan gender. Hal ini mencerminkan stereotip gender yang masih kuat di masyarakat Korea, dimana perempuan diharapkan untuk fokus pada peran tradisional seperti mengurus anak, sementara pria berperan sebagai pencari nafkah.
Budaya patriarkal ini tidak hanya tercermin dalam struktur perusahaan, tetapi juga dalam pengawasan ketat terhadap tubuh dan kehidupan pribadi idol perempuan. Bernadine Grace Alvania Manek dalam studinya menjelaskan bahwa peran gender tradisional yang diharapkan dari perempuan dalam masyarakat Korea berakar pada ajaran Konfusianisme. Ajaran ini mengajarkan bahwa perempuan tidak boleh melanggar peran mereka sebagai warga negara yang subordinat. Untuk mempertahankan peran tradisional ini, kontrol terhadap seksualitas perempuan menjadi penting.
Dalam industri K-pop, idol perempuan yang dianggap melanggar peran gender tradisional sering kali menjadi sasaran perundungan siber yang kejam. Teknologi digital memperburuk situasi ini, membuat idol perempuan sangat rentan terhadap serangan misoginis. Sebagai produk bernilai tinggi di industri ini, idol perempuan diharuskan mematuhi norma yang kaku, dan ketika mereka dianggap menyimpang, mereka sering kali dihujani kritik pedas dari publik.
Singkatnya, industri K-pop mencerminkan bagaimana proses eksploitasi berbasis gender berjalan di balik kemegahan dan popularitasnya. Idol perempuan, meskipun menjadi bagian penting dari mesin ekonomi ini, seringkali kehilangan kendali atas hidup mereka sendiri. Mereka diperlakukan sebagai komoditas yang harus selalu sempurna demi memenuhi tuntutan pasar, sementara hak-hak mereka sebagai individu terpinggirkan oleh kontrak dan sistem yang patriarkal.
Perundungan Siber Terhadap Idola K-pop Perempuan: Tantangan dan Realitas
Idol perempuan di industri K-pop diharuskan mewujudkan fantasi tubuh ideal yang tertanam dalam masyarakat. Dengan mengikuti standar kecantikan yang diidamkan oleh penggemar pria, idol perempuan bisa mempertahankan nilai mereka sebagai bintang utama di pasar K-pop. Akibatnya, mereka sering mendapat kritik tajam terkait penampilan fisik mereka. Contohnya, Sulli dikritik di sebuah acara TV ketika seorang penggemar pria menyarankan agar dia menurunkan berat badan di bagian lengannya, meskipun dia sudah terlihat sangat ramping. Insiden ini menunjukkan keinginan penggemar pria untuk mengontrol tubuh Sulli demi memenuhi fantasi mereka sendiri. Dalam hal ini, pandangan tentang tubuh perempuan dibentuk oleh “male gaze” atau pandangan pria, di mana perempuan diharapkan untuk langsing, bermata besar, dengan fitur seperti boneka, serta memiliki kaki panjang dan ramping.
Untuk memenuhi standar kecantikan ini, banyak idol perempuan K-pop menjalani operasi plastik, meskipun hanya sedikit yang secara terbuka membicarakannya karena operasi plastik masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan sering dianggap sebagai kecantikan buatan. Jane Wong dalam studinya menyebutkan bahwa operasi plastik adalah hal yang tabu secara sosial, dan banyak orang enggan mengakui bahwa mereka telah menjalani prosedur tersebut. Salah satu idola perempuan yang secara terbuka mengakui pernah menjalani operasi plastik adalah Goo Hara, mantan anggota KARA, yang mengungkapkan bahwa ia menjalani operasi saat pertama kali masuk ke industri hiburan. Sayang, pengakuannya menyebabkan perundungan siber, yaitu tindakan mengganggu atau menghina seseorang melalui teknologi digital, yang semakin parah ketika anonimitas diperbolehkan dalam ruang virtual. Perundungan siber yang dialami Goo Hara mencerminkan perilaku misoginis terhadap perempuan yang berani menantang tabu sosial dan peran gender tradisional.
Perundungan siber terhadap Goo Hara tidak berhenti; justru semakin parah setelah munculnya kasus “Molka” yang melibatkan dirinya pada tahun 2018. Mantan pacarnya, Choi Jong Beom, merekam momen intim mereka tanpa izin Goo Hara dan menggunakan rekaman tersebut untuk memerasnya. Pada akhirnya, Choi Jong Beom menyebarkan video tersebut secara online, yang memicu gelombang perundungan siber terhadap Goo Hara. Sebagai korban pelecehan seksual, Goo Hara menjadi sasaran victim-blaming atau menyalahkan korban di internet. Victim-blaming adalah reaksi umum di masyarakat patriarkal, di mana korban sering dianggap bertanggung jawab atas pelecehan yang mereka alami dan dituduh memprovokasi pelaku. Fenomena ini menjadi alasan utama mengapa banyak korban memilih untuk diam, karena ketika mereka bersuara, justru mendapat serangan lebih lanjut. Kekerasan seksual sering disebut sebagai masalah “gunung es”—yang sebagian besar tersembunyi dan tidak terlihat, sementara kekerasan terus terjadi.
Namun, Goo Hara memilih untuk tidak berdiam diri. Meskipun mengalami perundungan siber misoginis yang terus-menerus, dia menolak bungkam. Goo Hara melawan, mengajukan tuntutan hukum terhadap mantan pacarnya, dan bahkan membantu jurnalis investigasi dalam mengungkap skandal Burning Sun. Keterlibatannya dalam pengungkapan skandal ini pada tahun 2019 didorong oleh pengalamannya sebagai korban Molka (Merekam video pribadi seseorang secara diam – diam), kejahatan yang mirip dengan apa yang dialami para korban skandal Burning Sun. Korban skandal ini diperkosa, direkam secara diam-diam, dan videonya disebarluaskan di situs porno. Meskipun Goo Hara sangat berani dalam melawan ketidakadilan, perundungan siber yang berlangsung terus menerus, akhirnya berujung pada keputusannya untuk bunuh diri pada November 2019 di rumahnya.
Sebelum kematiannya yang tragis, Goo Hara pernah mencoba bunuh diri pada Mei 2019. Sebelumnya, dia sempat berbicara secara terbuka pada publik tentang gangguan mental yang dialaminya akibat kasus Molka dan perundungan siber yang ia alami selama bertahun – tahun. Keputusannya mengakhiri hidup juga dipengaruhi oleh kasus bunuh diri teman dekatnya, Sulli, satu bulan sebelumnya. Sulli ditemukan meninggal dunia akibat bunuh diri di rumahnya pada Oktober 2019. Baik Goo Hara maupun Sulli adalah korban perundungan siber misoginis karena mereka berani berbicara, menyuarakan pendapat, dan melanggar peran gender tradisional perempuan di masyarakat patriarkal yang mengkondisikan perempuan supaya selalu terlihat manis dan patuh.
Sulli dikenal karena sifatnya yang bebas dan kontroversial. Dia menjadi sasaran perundungan siber setelah berkencan dengan seorang rapper yang 14 tahun lebih tua dari dirinya. Dalam dunia K-pop, berkencan seringkali dianggap tabu, terutama bagi idol yang baru memulai karirnya. Seiring dengan makin membesarnya skandal tersebut, Sulli pun memutuskan keluar dari grupnya, f(x), pada tahun 2015. Meski keluar dari grup, Sulli tetap vokal di media sosial, termasuk menyuarakan dukungannya terhadap gerakan tanpa bra. Pada 21 Juni 2019, Sulli tampil di acara JTBC2 “Night of Malicious Comments” dan mengatakan bahwa tidak memakai bra adalah kebebasan pribadi dan hanya sebatas aksesori. Menurutnya, memakai bra justru bisa merugikan kesehatan perempuan. Dalam studi oleh Yeong-Hyeon Choi, Seong Eun Kim, dan Kyu-Hye Lee, gerakan tanpa bra dianggap sebagai bagian dari gerakan feminis dan tren mode. Namun, pandangan masyarakat Korea terhadap gerakan ini sangat negatif dan kontroversial, sehingga dukungan Sulli terhadap No Bra Day memicu lebih banyak skandal dan perundungan siber misoginis. Alih – alih, menghentikan speak up soal pandangannya, Sulli bersikukuh pada keyakinannya dan tidak berhenti bersuara, melanggar peran tradisional perempuan yang diharuskan diam dan patuh. Selain itu, dia juga membuat kontroversi ketika secara terbuka mendukung hak perempuan memilih aborsi dalam undang-undang aborsi. Sikap pro-choice Sulli bertentangan dengan peran tradisional perempuan sebagai ibu. Hal ini mendorong komunitas online melakukan perundungan supaya dia bungkam dan berhenti berbicara tentang hak perempuan atas tubuhnya sendiri, seksualitas, dan kebebasan berekspresi.
Perundungan siber yang intens terhadap pandangan pro-choice Sulli mencerminkan budaya misoginis dan anti-feminis di Korea Selatan. Seperti yang dijelaskan Euisol Jeong dalam studinya, “Troll Feminism: The Rise of Popular Feminism in South Korea,” ruang virtual telah menjadi platform bagi anti-feminis, dimana komunitas yang didominasi pria menciptakan konten yang menentang feminisme. Ketika perempuan berpartisipasi dalam diskusi tersebut, mereka sering dipojokkan, diintimidasi, dan diasingkan oleh komunitas pria , bahkan diberi label sebagai “feminis bodoh” atau “kkolpemi.” Awalnya, mereka menargetkan perempuan terkenal dalam melawan ide-ide feminis, tetapi kini mereka juga menyasar perempuan biasa. Komunitas ini sering menyebarkan foto dan mengintimidasi target mereka secara luas di internet, menjadikannya bahan ejekan secara nasional. Perundungan siber terhadap Sulli dan Goo Hara mencerminkan propaganda anti-feminis yang berkembang di internet.
Meskipun idol perempuan lebih rentan, idol pria juga mengalami perundungan siber. Salah satu contoh idol pria yang menjadi korban perundungan adalah Tablo. Haerin Shin dalam studinya membahas kasus perundungan siber yang dialami Tablo, dimana dia dituduh memalsukan gelar Stanfordnya. Prestasi akademis Tablo dianggap sebagai bentuk kesempurnaan yang membedakannya dari idola K-pop lainnya, yang biasanya dikenal dari penampilan atau bakat mereka. Pilihannya untuk masuk ke industri hiburan, kurang dihargai di masyarakat meritokratis Korea dan menguatkan sorotan terhadap dirinya. Kasus Tablo menunjukkan bagaimana orang-orang senang menyerang mereka yang dianggap berbeda. Dengan kata lain, Sulli, Goo Hara, dan Tablo dianggap berbeda dan gagal memenuhi ekspektasi penggemar. Hanya saja, budaya patriarkal yang kuat memperparah perundungan siber terhadap idol perempuan.
Eksploitasi dan Perundungan Siber Misoginis: Beban Berat Idol Perempuan KPOP
Dunia K-pop yang gemerlap mungkin terlihat memukau dari luar, tetapi kenyataan yang dialami idol di balik panggung jauh dari kata ideal. Seperti yang pernah diungkapkan Sulli dan Amber Liu, menjadi seorang idol sering kali berarti menyerahkan kebebasan mereka. Tubuh dan pikiran mereka dikendalikan penuh oleh industri. Jam kerja yang tak kenal henti, kontrak yang berat sebelah, dan standar kecantikan yang nyaris tak manusiawi menjadi beban yang harus mereka pikul setiap hari. Ironisnya, banyak idol memulai karier mereka di usia yang sangat muda, di saat mereka seharusnya bebas untuk tumbuh dan berkembang secara alami.
Untuk memenuhi standar kecantikan yang sangat tinggi, terutama bagi idol perempuan, mereka diharuskan menjalani diet ekstrem dan program latihan ketat sejak masa trainee. Menurut penelitian Bhutia dan Narvey, banyak idol kemudian mengalami masalah kesehatan serius seperti gangguan makan, malnutrisi, bahkan kecemasan dan depresi. Jadwal yang padat, tekanan fisik, dan tuntutan penampilan sempurna membuat mereka semakin terpuruk secara mental. Namun, industri K-pop sering kali menutup mata terhadap kesehatan mental idol-idolnya, meskipun dampaknya sangat serius, termasuk tingginya angka bunuh diri di kalangan selebritas Korea Selatan.
Lebih dari sekadar tuntutan fisik dan mental, idol perempuan juga harus berhadapan dengan seksualisasi sejak dini. Tubuh mereka dipasarkan dan dijual kepada publik, yang membuat mereka rentan terhadap pelecehan seksual dan perundungan siber. Bhutia dan Narvey menjelaskan bahwa fenomena ini mengajarkan laki-laki muda untuk memperlakukan perempuan dengan cara yang sama, yaitu menseksualisasi tubuh perempuan. Hal ini memicu tingginya kasus misogini dan pelecehan seksual di dunia maya. Idol perempuan, terutama yang menentang norma gender tradisional, sering kali menjadi target utama perundungan daring.
Namun, idol perempuan yang berani bersuara dan menentang norma-norma ini sering kali menjadi panutan bagi banyak perempuan muda lainnya. Sulli dan Goo Hara, misalnya, dikenal sebagai sosok yang vokal dan mandiri, memberikan inspirasi bagi para penggemar mereka untuk menuntut kebebasan dan kemandirian. Sayangnya, sikap berani mereka juga menjadikan mereka sasaran empuk perundungan siber misoginis yang tak kenal ampun.
Kematian tragis Sulli dan Goo Hara membuka mata banyak orang terhadap sisi gelap industri K-pop. Sejung Park menjelaskan bahwa kematian Sulli telah menarik perhatian khalayak tentang masalah perundungan siber dan misogini, hingga memaksa platform-platform besar seperti Kakao dan Naver untuk memperketat aturan terkait komentar kebencian. Meski begitu, respons pemerintah Korea Selatan masih jauh dari memadai dalam menanggulangi masalah perundungan siber yang telah merenggut nyawa banyak perempuan, termasuk idol.
Kesimpulan
Industri K-pop telah menciptakan sebuah sistem yang memanfaatkan mimpi para remaja untuk menjadi bintang, tetapi di balik itu semua, mereka dijadikan komoditas yang siap dijual ke pasar hiburan. Mereka dilatih dengan keras sejak masih remaja, dengan harapan bisa menjadi “produk” unggulan. Namun, tak ada jaminan bagi mereka untuk sukses, dan setelah debut, mereka masih harus menghadapi tekanan besar untuk melunasi utang dari biaya pelatihan mereka.
Idol perempuan sangat rentan terhadap eksploitasi dan seksualisasi. Mereka dipaksa memenuhi ekspektasi masyarakat agar terlihat sempurna, baik dalam hal penampilan maupun sikap, sesuai dengan peran gender tradisional yang mengakar kuat di budaya Korea. Tekanan untuk menjalani operasi plastik dan diet ketat kerap berujung pada masalah kesehatan fisik dan mental yang serius. Kematian tragis Sulli dan Goo Hara memperlihatkan dampak buruk dari perundungan siber yang dilancarkan terhadap perempuan-perempuan mandiri yang berani menentang norma ini.
Eksploitasi dan perundungan siber telah menghancurkan banyak kehidupan idol perempuan, menyebabkan masalah kesehatan mental yang berujung pada tragedi bunuh diri. Meski beberapa platform digital telah mulai mengambil tindakan untuk menanggulangi komentar kebencian, pemerintah Korea Selatan belum cukup tegas dalam menanggapi isu ini. Reformasi sistemik dalam industri K-pop sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan supportif bagi idol perempuan, serta untuk mengurangi budaya misogini yang begitu kuat mencengkeram masyarakat.
Dalam jangka panjang, perubahan ini tak hanya akan melindungi para idol, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Korea secara keseluruhan.
Bibliography
Ahn, Ji-Hyun and Tien-wen Lin, 2019. “The politics of apology: The ‘Tzuyu scandal” and transnational dynamics of K-pop”
Burning Sun. Directed by Kai Lawrence, BBC World Service’s investigation unit, 2024.
Christopher Zysik, 2021, “K-POP and Suicide – Marginalization and Resistance in the Korean POP Industry”
Choi, Yeong-Hyeon; Kim, Seong Eun; and Lee, Kyu-Hye, 2021. “The Cultural Meaning of Bralessness to Consumers: Feminism, Freedom, and Challenge”
Fedorenko, Olga, 2017. “Korean-Wave Celebrities between Global Capital and Regional Nationalisms”
Jeong,Euisol, 2020. “Troll Feminism:The Rise of Popular Feminism in South Korea”
Lee, Seung-Ah, 2015. “Of the fans, by the fans, for the fans: The JYJ Republic”, US: University of Michigan Press
Manek, Bernadine Grace Alvania Confucian, 2023. Historical Narratives and Misogynic Culture in South Korea, Journal of Asian Social Science Research, Vol. 5, No.1: 49-62
Park, Sejung; Kim, Jiwon (2021). “Tweeting about abusive comments and misogyny in South Korea following the suicide of Sulli, a female K-pop star: Social and semantic network analyses”.
Persona: Sulli. Directed by Jung Yoon Suk, Hwang Soo Ah, Netflix, 2023.
Shin, Haerin, 2015. “The dynamics of K-Pop spectatorship: the Tablo witch-hunt and its double-edged sword of enjoyment”
Wong, Ka Yee Janice, 2018. “No more taboo: Discursive tactics for navigating the taboo of cosmetic surgery”
Trisnanti, Dian Septi. an interview with Oh Kyung Jin. August 29, 2024.
Jimin Jeong forever, “A man with an ugly heart tells Sulli she needs to lose weight”, 8 June 2021,